Aborsi Ditinjau Dari Iktikad Kristen




ABORSI: Tinjauan alkitabiah & aplikatif
Pengantar
Ribut soal terbongkarnya praktek pengguguran dikalangan pasangan di luar nikah, memantik debat gerah: etiskah praktek pengguguran itu? Jika etis, dapatkah klinik pengguguran beroperasi dengan leluasa? Kalangan agamawan, etikus, para medis, dan para perempuan pemilik rahim perlu dipertimbangkan secara cermat pendapatnya.
melaluiataubersamaini sengaja saya mengangkat pandangan teologis Norman L. Geisler (2001) ihwal Aborsi dan mempersembahkan tanggapan pribadi yang kiranya sanggup menjadi masukan bagi siapa saja yang berminat pada soal hidup atau matinya janin yang dikandung seorang wanita.
Saya percaya seorang perempuan didiberi anugerah terbesar oleh Allah sehingga dengan rahimnya, seorang perempuan sanggup secara pribadi mengalami karya Allah yang ajaib. Kiranya para Kartini modern mengucap syukur atas kodratnya yang mulia ketika mengandung, melahirkan dan menyusui.
Tiga perilaku dasar
Geisler mengajukan pertanyaan etis:
 Dapatkah dibenarkan untuk mengakhiri kehidupan dalam kandungan melalui aborsi? Pertanyaan sekitar status janin terkait pengguguran memunculkan 3 perilaku dasar.
Pertama, kelompok yang beropini bahwa janin ialah pecahan dari badan insan sehingga mereka menyetujui pengguguran sesuai permintaan.
Kedua, kelompok yang beropini bahwa janin itu berpotensi menjadi insan sehingga mereka menyetujui pengguguran dalam situasi tertentu.
Dan ketiga, kelompok yang beropini bahwa janin itu benar-benar insan sehingga mereka menolak sama sekali aborsi.
Ketiga kelompok ini membangun perilaku dasarnya dengan argumentasi alkitabiah maupun ilmiah.

1. Aborsi yang dilakukan kapan saja: Keyakinan bahwa janin itu pecahan badan manusia
Kelompok pro-aborsi atau ”pro-choice” (kebebasan memilih) memdiberi tekanan utama pada hak seorang ibu menetapkan apakah beliau ingin mempunyai bayinya. Seorang perempuan tidak sanggup dipaksa mempunyai anak yang berperihalan dengan keinginannya.
Keputusan Pengadilan Tinggi AS (1973) yang mengabulkan ajakan pengguguran dalam kasus Doe vs Bolten dan Roe vs Wade dengan alasan hak kebebasan pribadi perempuan berlaku melebihi kepentingan Amerika di dalam mengatur aborsi.
Akibatnya, pengguguran dengan alasan apapun dilegalkan di seluruh 50 negara pecahan Amerika Serikat.

Argumentasi alkitabiah yang dibangun berdasarkan
 
Kitab Kejadian 2:7, Ayub 34:14-15, Yeaku 57:16, Pengkhotbah 6:3-5 dan Matius 26:24
yang tiruananya ditafsirkan janin bukanlah insan alasannya belum sanggup bernafas.
Argumentasi ilmiahnya:
 (1) Argumentasi lantaran kesadaran diri, bahwa bayi spesialuntuklah pecahan dari badan insan dan bukan insan hingga beliau mempunyai kesadaran diri;
 (2) Argumentasi lantaran ketergantungan fisik, bahwa bayi ialah gangguan bagi tempat kekuasaan fisik seorang ibu sehingga seorang ibu berhak mengaborsinya;
(3) Argumentasi lantaran keselamatan sang ibu, bahwa pengguguran legal lebih kondusif dan menyelamatkan ribuan ibu dari janjkematian dibandingkan pengguguran yang dilakukan diam-diam, sembarangan dan tidak membersihkan;
(4) Argumentasi lantaran siksaan dan penyia-yiaan, bahwa kehamilan yang tidak diinginkan berakibat bawah umur menga-lami penyiksaan dan disia-siakan orang tuanya dan pengguguran ialah solusi efektif;
(5) Argumentasi lantaran cacat, bahwa kemajuan ilmu kedokteran sanggup mengidentifikasi semenjak dini bayi cacat yang sanggup ditolak kelahirannya daripada menjadi beban keluarga dan masyarakat.
(6) Argumentasi lantaran kebebasan pribadi sebagaimana keputusan Pengadilan Tinggi AS yang menghormati hak kebebasan pribadi perempuan atas tubuhnya sehingga berhak mengeluarkan seorang bayi yang tidak diinginkan dari rahimnya sama menyerupai hak mengusir tamu dari rumah.
(7) Argumentasi lantaran pemerkosaan, bahwa mempertahankan kehamilan dalam kondisi terhina jawaban perkosaan ialah perilaku tidak bermoral dan perempuan tidak harus dipaksa mempunyai seorang bayi yang berperihalan dengan kemauannya. 

Geisler menilai argumentasi alkitabiah yang memandang janin sebagai pecahan dari badan insan sama sekali tidak benar sebagaimana yang dimaksud Alkitab.
Nafas tidak sanggup menjadi ukuran dimulainya hidup manusia.
 Kehidupan insan sudah ada sebelum adanya nafas ketika kelahiran, yaitu dari ketika pembuahan misalnya,
 Mazmur 51:7 “dalam dosa saya dikandung ibuku” atau
Matius 1:20, “anak yang dalam kandungannya ialah dari Roh Kudus”.
Kelahiran ialah permulaan kehidupan yang sanggup dilihat orang, tetapi bukan permulaan kehidupan itu sendiri alasannya seorang ibu sanggup mencicipi kehidupan dalam kandungannya ketika bayi bergerak, kadang bahkan melonjak (Lukas 1:44).
Kisah penciptaan Adam ialah kasus unik dan spesialuntuk Allah yang mempersembahkan kehidupan bagi insan dan bagaimana kehidupan didiberikan pada ketika pembuahan (Kejadian 4:1). 

Anak-anak yang mati lantaran keguguran memang tidak mempunyai pengetahuan apapun (Pkh 6:3-5), tetapi bukan berarti mereka bukan manusia.
Orang sampaumur pun kelak akan mati dan mereka tetap insan “sebab tidak ada pengetahuan dalam dunia orang mati kemana engkau akan pergi” (Pkh 9:10).
Demikian juga bahwa tingkat pengetahuan bukan ukuran menilai bahwa seorang individu itu insan atau bukan manusia. Kesadaran diri benar belum dimiliki oleh janin, tetapi juga pada mereka yang sedang pulas, koma, bawah umur kecil yang berumur satu setengah tahun maupun mereka yang kurang pendidikannya.
Karenanya, kesadaran diri tidak sanggup dijadikan patokan untuk tindakan aborsi. 

Embrio bagi Geisler, bukanlah suatu ekspansi dari sang ibu, alasannya setelah 40 hari setelah pembuahan embrio itu sudah mempunyai ilham, golongan darah dan sidik jari sendiri. Dan akhirnya, embrio itu spesialuntuk “bermasukang” di dalam kandungan ibunya.
Menyikapi akreditasi aborsi, Geisler beropini bahwa akreditasi pengguguran justru membunuh jutaan bayi (1.500.000 bayi/tahun) di AS.
Aborsi sanggup dinilai sebagai bentuk penyiksaan anak yang paling buruk, penyiksaan melalui janjkematian yang kejam. Data Departemen Pelayanan Kesehatan dan Manusia semenjak pengguguran dilegalkan tahun 1973 hingga 1982, penyiksaan anak meningkat lebih dari 500 % dan 91 % dari mereka disiksa orang bau tanah yang menginginkan anaknya.
Aborsi terhadap janin cacat tidak sanggup dibenarkan alasannya sama menyerupai pembunuhan terhadap bayi atau eutanasia lantaran alasan genetik.
Organisasi orang cacat pun tidak menyetujui pengguguran terhadap bayi-bayi yang kemungkinan cacat. 


Hak kebebasan pribadi, berdasarkan Geisler tidaklah mutlak alasannya janin ialah insan semenjak pembuahannya dan pengguguran terang tindak pembunuhan.
Aborsi ialah tindakan lepas tanggung jawaban setelah melaksanakan hubungan seksual bebas alasannya “si tamu” hadir lantaran diundang dan diusir lantaran tidak diinginkan. Benar kita tiruana menaruh simpati terhadap korban pemerkosaan, tetapi mengaborsi janin terang tindak pembunuhan.
Seharusnya kita menghukum pemerkosa yang bersalah, bukan bayi yang tidak berdosa. Daripada diaborsi, bayi itu lebih baik diadopsi oleh orang lain yang mau merawatnya.
2. Aborsi yang dilakukan sekali-sekali: Keyakinan bahwa janin berpotensi menjadi manusia
Pendapat mereka bahwa sifat manusiawi dari individu berkembang secara ber-angsur-angsur di antara pembuahan dan kelahiran. Janin itu mulai sebagai sesuatu yang mungkin menjadi insan dan menjadi insan secara berangsur-angsur.
Umumnya, mereka menyukai pengguguran untuk menyelamatkan nyawa sang ibu, lantaran pemerkosaan, incest dan cacat genetik. Argumentasi alkitabiahnya, Keluaran 21:22-23 ditafsirkan bahwa janjkematian janin lantaran kecelakaan harganya tidak sebanding dengan janjkematian sang ibu alasannya janin tidak dianggap benar-benar sebagai manusia.
Atau, Mazmur 51:7 ditafsirkan bahwa dalam kandungan, janin berdosa dan lantaran itu janin berpotensi sebagai insan berdosa. Begitu juga Mazmur 139:13,16 menyampaikan bahwa janin tidak sepenuhnya insan lantaran masih dalam proses “ditenun” dan disebut “belum berbentuk” (bakal anak).
Roma 5:12 ditafsirkan bahwa janin spesialuntuklah berpotensial sebagai insan sebelum dilahirkan dan Ibrani 7:9 ditafsirkan bahwa janin itu spesialuntuk secara potensial insan ketika mereka berada di dalam badan sang ibu.

Argumentasi ilmiahnya:
 (1) Kepribadian insan berkembang secara berangsur-angsur, karenanya janin spesialuntuklah sesuatu yang berpotensi menjadi manusia;
(2) Perkem-bangan insan saling berafiliasi satu sama lain dengan perkembangan fisik, karenanya janin berpotensi menjadi insan alasannya belum lengkap fisiknya sebagai manusia;
 (3) Analogi dengan makhluk hidup lainnya menyerupai biji pohon ek atau sebutir telur yang mempunyai potensi untuk hidup, karenanya janin mempunyai potensi hidup sebagai manusia;
(4) Argumentasi legal sebagaimana keputusan Pengadilan Tinggi AS yang mengacu kepada Keempatbelas Amandemen AS yang mempersembahkan hak kewargguagaraan spesialuntuk kepada mereka yang sudah dilahirkan dan berarti konstitusi menyatakan secara tidak pribadi bahwa bayi yang belum lahir tidak sepenuhnya manusia. 

Keluaran 21:22-23 berdasarkan Geisler tidak sanggup dijadikan dasar untuk menyampaikan bahwa janin berpotensi sebagai manusia. Tafsiran yang benar bahwa janin yang gugur lantaran kecelakaan tetaplah seorang insan yang sama harganya dengan nyawa sang ibu.
Mazmur 51:7 harus ditafsir semenjak dari pembuahan insan berdosa dan menjadi pecahan dari keturunan Adam yang berdosa.
Mazmur 139:13,16, bahwa bayi yang belum terbentuk ialah insan yang diciptakan Allah dan sudah dikenal Allah sebelum dilahirkan.
Roma 5: 12 tidak dimaksudkan bahwa janin berpotensi sebagai insan sebelum dilahirkan, melainkan kita tiruana terwakili berada di dalam Adam dan bertanggung jawaban di dalam dosanya.
 Ibrani 7:9 sama sekali tidak berbicara ihwal embrio manusia, melainkan secara kiasan mau dikatakan komplotan Lewi dengan Abraham secara iman. 

Geisler beropini bahwa kepribadian ialah konsep psikologi dan pribadi ialah sebuah kategori ontologi, karenanya janin ialah pribadi/manusia yang diciptakan Allah yang kelak setelah kelahirannya kepribadiannya akan berkembang seturut pertambahan usianya.

Jiwa insan tetap sama semenjak dari pembuahan hingga mengalami perkembangan badan sehingga jiwa sanggup hadir secara keseluruhan dan komplit.
Tidak sanggup dibenarkan jikalau dikatakan bahwa biji buah pohon Ek maupun embrio berpotensi mempunyai kehidupan.
Biji pohon Ek ialah satu pohon Ek hidup yang sangat kecil di dalam sebuah tempurung dan embrio ialah seorang insan kecil yang hidup dengan potensi besar.
Keputusan pengadilan Tinggi AS dinilai Geisler keliru alasannya dengan terang konstitusi AS melindungi hak hidup seorang anak yang belum lahir sebagaimana Deklarasi Kemerdekaan (1776) maupun keputusan pengadilan federal (1970) dalam kasus Steinberg vs Brown.
3. Tidak ada aborsi: Keyakinan bahwa janin itu benar-benar manusia.
Argumentasi alkitabiah yang dibangun antara lain: Lukas1:41,44; 2:12,16; Keluaran 21:22 bahwa bayi yang belum dilahirkan disebut bawah umur dan diciptakan Allah (Maz139:13) berdasarkan gambarNya (Kejadian 1:27). Hidup mereka dilindungi undang-undang (Kel 21:22) sama menyerupai orang sampaumur (Kej 9:6). Yesus sendiri menjadi insan semenjak dalam rahim Maria (Mat. 1:20-21; Luk 1:26-27). Secara ilmiah semenjak dari pembuahan jenis kelabuin laki-laki atau perempuan sudah ditentukan dan sesuai dengan kesaksian Bibel (Kej 1:27). Anak-anak yang belum lahir mempunyai karakteristik pribadi menyerupai dosa (Mazmur 51:5,7) tetapi dikenal bersahabat dan pribadi oleh Allah (Mzm 1349:15-16; Yer 1:5) bahkan sudah dipanggil Allah sebelum dilahirkan (Kej. 25:22-23; Hak 13:2-7; Yes 49:1,5; Gal 1:15). Anak yang belum lahir disebut secara pribadi dengan kata ganti orang yang sama menyerupai insan lainnya (Yer 1:5). Secara ilmiah, bahwa ilmu pengetahuan lewat teknologi kedokteran menunjukan bahwa hidup insan individual dimulai pada ketika pembuahan di mana seluruh informasi genetik ada. Pada ketika terjadi pembuahan, ketika sperma laki-laki (23 kromosom) dan sel telur perempuan (23 kromosom) bersatu, insan gres yang kecil yang terdiri dari 46 kromosom muncul dan semenjak ketika itu hingga kematiannya tidak ada informasi genetik gres yang dimenambahkan. Semua yang dimenambahkan di antara pembuahan dan janjkematian ialah makanan, air dan oksigen. Secara sosial, terang bahwa embrio yang dikandung ialah insan yang mempunyai orang bau tanah manusia. Tindakan pengguguran ialah tindakan pembunuhan sama menyerupai pembunuhan anak bayi atau eutanasia lantaran melibatkan pasien yang sama, mekanisme yang sama dan berakhir dengan hasil yang sama.
Aborsi sudah ditetapkan bersalah oleh banyak masyarakat dan orang-orang moralis, baik orang Nasrani maupun tidak, semenjak permulaan peradaban. Kode Hammurabi (abad 18 SM), aturan Musa (abad 16 SM), Tiglath-pileser (abad 12 SM), Hippocrates (dengan sumpah kedokterannya), Santo Agustinus ( era 4), Thomas Aquinas (abad 13), John Calvin (abad 16), serta konstitusi AS (sebelum keputusan 1973), menentang praktek pengguguran dan menjatuhkan eksekusi kepada pelakunya. Jika pengguguran diterima maka kita mengakui diskriminasi dan berarti kita juga sanggup menyingkirkan mereka yang cacat jasmani, para lansia, korban AIDS, pecandu obat-obatan maupun mereka yang terlantar. Kritik dilontarkan atas pandangan bahwa janin benar-benar manusia. Misalnya, bagaimana jikalau hidup sang ibu terancam? Bagaimana jikalau janin tidak hingga ke uterus untuk berkembang? Tidakkah kita berkewajiban menyelamatkan tiruana sel telur yang dibuahi supaya tidak terjadi pengguguran spontan, lantaran janin tidak hingga ke uterus? Bukankah hidup kembar identik dimulai setelah pembuahan? Bagaimana dengan bayi yang tidak tepat secara genetik, lantaran spesialuntuk mempunyai 45 kromosom (Syndrome Turner) atau yang mempunyai 47 (Syndrome Down) ? Embrio bukanlah seorang pribadi manusia, tetapi spesialuntuk dalam keberadaan sebagai manusia.
Jawaban Geisler atas Koreksi itu sangat jelas. Aborsi secara medis sanggup dibenarkan untuk kasus kehamilan tubal dimana pilihannya nyawa ibu atau bayinya. Kematian atau pengguguran impulsif dimana janin tidak hingga ke uterus, bukanlah tanggungjawaban moral kita dan tidak sama dengan pengguguran buatan (karena permintaan). Aborsi impulsif atau janjkematian alamiah lantaran keguguran bukan kiprah moral kita mencampurinya. Kembar identik insan semenjak pembuahannya hingga pembelahannya tetap insan 100% dengan masing-masing yang mempunyai 46 kromosom. Akhirnya tidak ada perbedaan fundamental antara keberadaan sebagai insan dan menjadi pribadi manusia, yang ada spesialuntuklah perbedaan fungsional. Geisler menutup uraiannya dengan menyimpulkan bahwa kekudusan hidup ialah serius utama perdebatan soal pengguguran sehingga kewajiban kita melindungi kekudusan hidup manusia.
TANGGAPAN
Kekudusan Hidup
Penting terlebih lampau menerangkan definisi pengguguran supaya diperoleh pemahaman yang sama. Aborsi (abortion, Latin) ialah pengeluaran hasil konsepsi dari uterus secara prematur pada umur di mana janjn itu belum bisa hidup di luar kandungan. Secara medis janin bisa hidup di luar kandungan pada umur 24 minggu. Secara medis, pengguguran berarti pengeluaran kandungan sebelum berumur 24 ahad dan mengakibatkan kematian; sedangkan pengeluaran janin setelah umur 24 ahad dan mati tidak disebut pengguguran tetapi pembunuhan bayi (infanticide). Dalam terminologi moral dan hukum, pengguguran berarti pengeluaran janin semenjak adanya konsepsi hingga dengan kelahirannya yang mengakibatkan kematian.
Geisler dengan cermat sudah mengidentifikasi segala dilema pengguguran dan mempersembahkan evaluasi yang tepat bahwa pengguguran tidak sanggup disetujui lantaran melanggar kekudusan hidup yang diputuskan Allah. Saya sepakat dengan Geisler bahwa kehidupan insan harus dihargai lebih utama (pro-life) dibandingkan memperjuangkan hak kebebasan menentukan (pro-choice) yang mengakibatkan janjkematian janin dan kemungkinan si ibu.
Janin semenjak pembuahan ialah insan dan lantaran itu proses perkembangannya hingga kelahiran tidak sanggup diintervensi oleh siapapun, karenanya kita harus sehati menyetujui prinsip kekebalan janin terhadap gangguan. Uskup Agung Canterbury, Lord Ramsey menerangkannya dalam Sidang gereja tahun 1967: “Kita harus nyatakan dengan tegas prinsip kekebalan janin terhadap gangguan, yang harus diberlakukan secara normatif … Adalah baik untuk melihat selaku salah satu pemdiberian Kekristenan yang besar kepada dunia, kepercayaan bahwa janin insani harus dijunjung tinggi sebagai embrio kehidupan yang suatu ketika bakal bisa mencerminkan kemuliaan Allah.”
Geisler dalam uraiannya tidak menerangkan bagaimana metode pengguguran yang dipakai untuk mengakhiri kehidupan janin. Penjelasan John Stott (1994: 420-421) diberikut ini menggambarkan pengguguran ialah tindakan brutal yang tidak menghargai martabat manusia. Metode pengguguran yang tertua ialah ‘D dan C’ (Dilation and Curettage, Pelebaran dan Pengikisan). Leher rahim diperlebar untuk megampangkan pemasukan ‘curette’ (alat pengikis) dengan mana dinding rahim dikikis hingga janin hancur terpotong-potong, atau tabung penyedot melalui mana janin itu disedot ke luar setelah tercabik-cabik dalam potongan-potongan kecil. Atau metode injeksi racun ke dinding perut si ibu ke dalam kantung amniotik (cairan yang terdapat antara janin dan dinding rahim) yang membungkus janin itu sehingga ketika terkena racun, hangus kemudian mati kemudian didorong ke luar secara spontan. Bisa juga dengan metode histerotomi (semacam Caesar tetapi bukan bertujuan menyelamatkan si bayi, melainkan membunuhnya) atau histerektomi lengkap ( janin dan rahim diangkat untuk dihancurkan bersama-sama).Yang terakhir, metode prostaglandin, suatu hormon yang pribadi mengakibatkan kelahiran prematur, dengan tujuan mengakhiri kehidupan si bayi.
Penjelasan medis menyerupai ini perlu dikemukan secara terbuka kepada orang-orang muda atau pasutri sehingga mereka sanggup mengurungkan niat aborsi. Dalam kaitan ini penting juga meminta pertanggung jawabanan moral seorang tenaga medis, menyerupai dokter atau bidan supaya tidak menyalahgunakan keahliannya semata-mata demi laba finansial.
Berbagai alasan meminta aborsi, antara lain korban pemerkosaan, incest, janin cacat, malu lantaran hamil di luar nikah, kemiskinan keluarga atau kebrutalan si ayah.Tentunya kita turut bersimpati dengan penderitaan itu, namun pengguguran bukan solusi ampuh dan sanggup dibenarkan secara iman kristiani. Jalan keluar terbaik adopsi atau menyerahkannya kepada panti asuhan. Tindakan pengguguran illegal mengakibatkan 80.000 jiwa perempuan mati setiap tahunnya dan sungguh pengguguran sangat berbahaya bagi kesehatan perempuan secara fisik dan psikis.
Benar bahwa kaum laki-laki tidak sanggup mencicipi bagaimana penderitaan seorang perempuan hamil yang menginginkan bayinya diaborsi. Namun sebagai pengikut Yesus, kita harus percaya bahwa Allah berkarya dalam rahim seorang ibu (Mazmur 139:13-16; Ayub 10:10-11) dan Allah bahkan berkenan memakai rahim seorang perempuan (Maria) untuk mewujudkan rencana keselamatan bagi manusia. Jelas janin/anak ialah anugerah Tuhan dan kita berkewajiban melindunginya dengan kasih. Kepentingan utama kita ialah memelihara dan mempertahankan kekudusan hidup sehingga tindakan pengguguran semata-mata sanggup dilakukan spesialuntuk untuk kasus di mana pilihannya menyelamatkan nyawa si ibu atau sibayi menyerupai kasus kanker rahim (aborsi terapeutik). Saya baiklah dengan perilaku pimpinan Majelis keagamaan Indonesia yang dengan tegas melarang pengguguran dan mengajak tiruana umat beragama menjunjung tinggi nilai luhur perkawinan dan keluarga (Kusmaryanto, 179). Dalam era keterbukaan dan kemajuan teknologi komunikasi, sudah sewajarnya pendidikan seksualitas diajarkan kepada kawula muda dan pasutri, sehingga mereka tidak jatuh dalam kehidupan seks bebas dan melaksanakan pengguguran lantaran ketidaktahuannya.
DAFTAR PUSTAKA
AWRC, Transforming attitudes towards sexuality: A module for asian women, Kuala Lumpur: Asian Women’s Resource Centre for Culture and Theology, 2002.
Geisler, Norman L. Etika Kristen: pilihan dan isu, alih bahasa Wardani Mumpuni & Rahmiati Tanudjaja, Malang: Departemen Literatur SAAT, 2001.
Grenz, Stanley Sexual Ethics: A biblical perspective, United Kingdom: Paternoster Press, 1998.
Kusmaryanto, C.B. Tolak aborsi: Budaya kehidupan versus budaya kematian, Yogyakarta: Kanisius, 2005.
Stott, John Isu-isu global menantang kepemimpinan kristiani, terj. G.M.A. Nainggolan, Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF, 1994

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Aborsi Ditinjau Dari Iktikad Kristen"

Posting Komentar