Peraturan Pemerintah No 55 Tahun 2007 Ttg Agama
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 55 TAHUN 2007
TENTANG
PENDIDIKAN AGAMA DAN PENDIDIKAN KEAGAMAAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 12 ayat (4), Pasal 30 ayat (5), dan Pasal 37 ayat (3) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 ihwal Sistem Pendidikan Nasional, perlu memutuskan Peraturan Pemerintah ihwal Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan;
Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 ihwal Sistem Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 78 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4301);
3. Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 jo Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1965 Nomor 3, Tambahan Negara Republik Indonesia Nomor 2727);
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PENDIDIKAN AGAMA DAN PENDIDIKAN KEAGAMAAN
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini, yang dimaksud dengan:
1. Pendidikan agama ialah pendidikan yang mempersembahkan pengetahuan dan membentuk sikap, kepribadian, dan keterampilan penerima didik dalam mengamalkan pedoman agamanya, yang dilaksanakan sekurang-kurangnya melalui mata pelajaran/kuliah pada tiruana jalur, jenjang, dan jenis pendidikan.
2. Pendidikan keagamaan ialah pendidikan yang mempersiapkan penerima didik untuk sanggup menjalankan peranan yang menuntut penguasaan pengetahuan ihwal pedoman agama dan/atau menjadi jago ilmu agama dan mengamalkan pedoman agamanya.
3. Pendidikan diniyah ialah pendidikan keagamaan Islam yang diselenggarakan pada tiruana jalur dan jenjang pendidikan.
4. Pesantren atau pondok pesantren ialah forum pendidikan keagamaan Islam berbasis masyarakat yang menyelenggarakan pendidikan diniyah atau secara terpadu dengan jenis pendidikan lainnya.
5. Pasraman ialah satuan pendidikan keagamaan Hindu pada jalur pendidikan formal dan nonformal.
6. Pesantian ialah satuan pendidikan keagamaan Hindu pada jalur pendidikan nonformal yang mengacu pada sastra agama dan/atau kitab suci Weda.
2
7. Pabbajja samguara ialah satuan pendidikan keagamaan Buddha pada jalur pendidikan nonformal.
8. Shuyuan ialah satuan pendidikan keagamaan Khonghucu yang diselenggarakan pada tiruana jalur dan jenjang pendidikan yang mengacu pada Si Shu Wu Jing.
9. Tempat pendidikan agama ialah ruangan yang digunakan untuk melaksanakan pendidikan agama.
10. Rumah ibadah ialah bangunan yang secara khusus dibangun untuk keperluan tempat diberibadah masyarakat satuan pendidikan yang bersangkutan dan/atau masyarakat umum.
11. Menteri ialah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendidikan.
12. Menteri Agama ialah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agama.
BAB II
PENDIDIKAN AGAMA
Pasal 2
(1) Pendidikan agama berfungsi membentuk insan Indonesia yang diberiman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia dan bisa menjaga kedamaian dan kerukunan kekerabatan inter dan antarumat beragama.
(2) Pendidikan agama bertujuan untuk berkembangnya kemampuan penerima didik dalam memahami, menghayati, dan mengamalkan nilai-nilai agama yang menyerasikan penguasaannya dalam ilmu pengetahuan, teknologi dan seni.
Pasal 3
(1) Setiap satuan pendidikan pada tiruana jalur, jenjang, dan jenis pendidikan wajib menyelenggarakan pendidikan agama.
(2) Pengelolaan pendidikan agama dilaksanakan oleh Menteri Agama.
Pasal 4
(1) Pendidikan agama pada pendidikan formal dan kegiatan pendidikan kesetaraan sekurang-kurangnya diselenggarakan dalam bentuk mata pelajaran atau mata kuliah agama.
(2) Setiap penerima didik pada satuan pendidikan di tiruana jalur, jenjang, dan jenis pendidikan berhak mendapat pendidikan agama sesuai agama yang dianutnya dan diajar oleh pendidik yang seagama.
(3) Setiap satuan pendidikan menyediakan tempat menyelenggarakan pendidikan agama.
(4) Satuan pendidikan yang tidak sanggup menyediakan tempat menyelenggarakan pendidikan agama sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sanggup bekerja sama dengan satuan pendidikan yang setingkat atau penyelenggara pendidikan agama di masyarakat untuk menyelenggarakan pendidikan agama bagi penerima didik.
(5) Setiap satuan pendidikan menyediakan tempat dan peluang kepada penerima didik untuk melaksanakan ibadah menurut ketentuan agama yang dianut oleh penerima didik.
(6) Tempat melaksanakan ibadah agama sebagaimana dimaksud pada ayat (5) sanggup berupa ruangan di dalam atau di sekitar lingkungan satuan pendidikan yang sanggup digunakan penerima didik menjalankan ibadahnya.
(7) Satuan pendidikan yang berciri khas agama tertentu tidak berkewajiban membangun rumah ibadah agama lain selain yang sesuai dengan ciri khas agama satuan pendidikan yang bersangkutan.
3
Pasal 5
(1) Kurikulum pendidikan agama dilaksanakan sesuai Standar Nasional Pendidikan.
(2) Pendidikan agama diajarkan sesuai dengan tahap perkembangan kejiwaan penerima didik.
(3) Pendidikan agama mendorong penerima didik untuk taat menjalankan pedoman agamanya dalam kehidupan sehari-hari dan menyebabkan agama sebagai landasan etika dan moral dalam kehidupan pribadi, berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
(4) Pendidikan agama mewujudkan keharmonisan, kerukunan, dan rasa hormat diantara sesama pemeluk agama yang dianut dan terhadap pemeluk agama lain.
(5) Pendidikan agama membangun sikap mental penerima didik untuk bersikap dan berperilaku jujur, amanah, disiplin, bekerja keras, mandiri, percaya diri, kompetitif, kooperatif, tulus, dan bertanggung jawaban.
(6) Pendidikan agama menumbuhkan sikap kritis, inovatif, dan dinamis, sehingga menjadi pendorong penerima didik untuk mempunyai kompetensi dalam bidang ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan/atau olahraga.
(7) Pendidikan agama diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, sangat bahagia, menantang, mendorong kreativitas dan kemandirian, serta menumbuhkan motivasi untuk hidup sukses.
(8) Satuan pendidikan sanggup menambah muatan pendidikan agama sesuai kebutuhan.
(9) Muatan sebagaimana dimaksud pada ayat (8) sanggup berupa tambahan materi, jam pelajaran, dan kedalaman materi.
Pasal 6
(1) Pendidik pendidikan agama pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau pemerintah tempat disediakan oleh Pemerintah atau pemerintah tempat sesuai kewenangan masing-masing menurut ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
(2) Pendidik pendidikan agama pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat disediakan oleh satuan pendidikan yang bersangkutan.
(3) Dalam hal satuan pendidikan tidak sanggup menyediakannya, maka Pemerintah dan/atau pemerintah tempat wajib menyediakannya sesuai kebutuhan satuan pendidikan.
Pasal 7
(1) Satuan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan agama tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1), Pasal 4 ayat (2) hingga dengan ayat (7), dan Pasal 5 ayat (1) dikenakan hukuman administratif berupa peringatan hingga dengan penutupan sehabis diadakan pembinaan/pembimbingan oleh Pemerintah dan/atau pemerintah daerah.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk:
a. satuan pendidikan tinggi dilakukan oleh Menteri sehabis memperoleh pertimbangan dari Menteri Agama;
b. satuan pendidikan dasar dan menengah dilakukan oleh bupati/walikota sehabis memperoleh pertimbangan dari Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota.
c. satuan pendidikan dasar dan menengah yang dikembangkan oleh pemerintah tempat menjadi bertaraf internasional dilakukan oleh kepala pemerintahan tempat yang mengembangkannya sehabis memperoleh pertimbangan dari Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama Provinsi atau Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota.
4
(3) Ketentuan lebih lanjut ihwal hukuman administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), ihwal pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan agama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5, serta ihwal pendidik pendidikan agama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 diatur dengan Peraturan Menteri Agama.
BAB III
PENDIDIKAN KEAGAMAAN
Pasal 8
(1) Pendidikan keagamaan berfungsi mempersiapkan penerima didik menjadi anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai pedoman agamanya dan/atau menjadi jago ilmu agama.
(2) Pendidikan keagamaan bertujuan untuk terbentuknya penerima didik yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai pedoman agamanya dan/atau menjadi jago ilmu agama yang berwawasan luas, kritis, kreatif, inovatif, dan dinamis dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diberiman, bertakwa, dan berakhlak mulia.
Pasal 9
(1) Pendidikan keagamaan mencakup pendidikan keagamaan Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Khonghucu.
(2) Pendidikan keagamaan diselenggarakan pada jalur pendidikan formal, nonformal, dan informal.
(3) Pengelolaan pendidikan keagamaan dilakukan oleh Menteri Agama.
Pasal 10
(1) Pendidikan keagamaan menyelenggarakan pendidikan ilmu-ilmu yang bersumber dari pedoman agama.
(2) Penyelenggaraan pendidikan ilmu yang bersumber dari pedoman agama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang memadukan ilmu agama dan ilmu umum/keterampilan terutama bertujuan untuk mempersiapkan penerima didik pindah pada jenjang yang sama atau melanjutkan ke pendidikan umum atau yang lainnya pada jenjang diberikutnya.
Pasal 11
(1) Peserta didik pada pendidikan keagamaan jenjang pendidikan dasar dan menengah yang terakreditasi berhak pindah ke tingkat yang setara di SD (SD), Madrasah Ibtidaiyah (MI), SMP (SMP), Madrasah Tsanawiyah (MTs), Sekolah Menengah Atas (SMA), Madrasah Aliyah (MA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat sehabis memenuhi persyaratan.
(2) Hasil pendidikan keagamaan nonformal dan/atau informal sanggup dihargai sederajat dengan hasil pendidikan formal keagamaan/umum/kejuruan sehabis lulus ujian yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang terakreditasi yang ditunjuk oleh Pemerintah dan/atau pemerintah daerah.
(3) Peserta didik pendidikan keagamaan formal, nonformal, dan informal yang memperoleh ijazah sederajat pendidikan formal umum/kejuruan sanggup melanjutkan ke jenjang diberikutnya pada pendidikan keagamaan atau jenis pendidikan yang lainnya.
Pasal 12
(1) Pemerintah dan/atau pemerintah tempat memdiberi menolongan sumber daya
5
pendidikan kepada pendidikan keagamaan.
(2) Pemerintah melindungi kemandirian dan kekhasan pendidikan keagamaan selama tidak berperihalan dengan tujuan pendidikan nasional.
(3) Pemerintah dan/atau forum berdikari yang berwenang, melaksanakan legalisasi atas pendidikan keagamaan untuk penjaminan dan pengendalian mutu pendidikan sesuai Standar Nasional Pendidikan.
(4) Akreditasi atas pendidikan keagamaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan sehabis memperoleh pertimbangan dari Menteri Agama.
Pasal 13
(1) Pendidikan keagamaan sanggup berbentuk satuan atau kegiatan pendidikan.
(2) Pendidikan keagamaan sanggup didirikan oleh Pemerintah, pemerintah tempat dan/atau masyarakat.
(3) Pendirian satuan pendidikan keagamaan wajib memperoleh izin dari Menteri Agama atau pejabat yang ditunjuk.
(4) Syarat pendirian satuan pendidikan keagamaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) terdiri atas:
a. isi pendidikan/kurikulum;
b. jumlah dan kualifikasi pendidik dan tenaga kependidikan;
c. masukana dan pramasukana yang memungkinkan terselenggaranya kegiatan pembelajaran;
d. sumber pembiayaan untuk kelangsungan kegiatan pendidikan sekurang-kurangnya untuk 1 (satu) tahun pendidikan/akademik diberikutnya;
e. sistem evaluasi; dan
f. administrasi dan proses pendidikan.
(5) Ketentuan lebih lanjut ihwal syarat-syarat pendirian satuan pendidikan keagamaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) abjad a, abjad b, abjad c, abjad d, dan abjad e diatur dengan Peraturan Menteri Agama dengan berpedoman pada ketentuan Standar Nasional Pendidikan.
(6) Pendidikan keagamaan jalur nonformal yang tidak berbentuk satuan pendidikan yang mempunyai penerima didik 15 (lima belas) orang atau lebih ialah kegiatan pendidikan yang wajib mendaftarkan diri kepada Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota.
Bagian Kesatu
Pendidikan Keagamaan Islam
Pasal 14
(1) Pendidikan keagamaan Islam berbentuk pendidikan diniyah dan pesantren.
(2) Pendidikan diniyah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan pada jalur formal, nonformal, dan informal.
(3) Pesantren sanggup menyelenggarakan 1 (satu) atau aneka macam satuan dan/atau kegiatan pendidikan pada jalur formal, nonformal, dan informal.
Paragraf 1
Pendidikan Diniyah Formal
Pasal 15
Pendidikan diniyah formal menyelenggarakan pendidikan ilmu-ilmu yang bersumber dari pedoman agama Islam pada jenjang pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi.
6
Pasal 16
(1) Pendidikan diniyah dasar menyelenggarakan pendidikan dasar sederajat MI/SD yang terdiri atas 6 (enam) tingkat dan pendidikan diniyah menengah pertama sederajat MTs/SMP yang terdiri atas 3 (tiga) tingkat.
(2) Pendidikan diniyah menengah menyelenggarakan pendidikan diniyah menengah atas sederajat MA/SMA yang terdiri atas 3 (tiga) tingkat.
(3) Penamaan satuan pendidikan diniyah dasar dan menengah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ialah hak penyelenggara pendidikan yang bersangkutan.
Pasal 17
(1) Untuk sanggup diterima sebagai penerima didik pendidikan diniyah dasar, seseorang harus berusia sekurang-kurangnya 7 (tujuh) tahun.
(2) Dalam hal daya tampung satuan pendidikan masih tersedia maka seseorang yang berusia 6 (enam) tahun sanggup diterima sebagai penerima didik pendidikan diniyah dasar.
(3) Untuk sanggup diterima sebagai penerima didik pendidikan diniyah menengah pertama, seseorang harus diberijazah pendidikan diniyah dasar atau yang sederajat.
(4) Untuk sanggup diterima sebagai penerima didik pendidikan diniyah menengah atas, seseorang harus diberijazah pendidikan diniyah menengah pertama atau yang sederajat.
Pasal 18
(1) Kurikulum pendidikan diniyah dasar formal wajib memasukkan muatan pendidikan kewargguagaraan, bahasa Indonesia, matematika, dan ilmu pengetahuan alam dalam rangka pelaksanaan kegiatan wajib belajar.
(2) Kurikulum pendidikan diniyah menengah formal wajib memasukkan muatan pendidikan kewargguagaraan, bahasa Indonesia, matematika, ilmu pengetahuan alam, serta seni dan budaya.
Pasal 19
(1) Ujian nasional pendidikan diniyah dasar dan menengah diselenggarakan untuk memilih standar pencapaian kompetensi penerima didik atas ilmu-ilmu yang bersumber dari pedoman Islam.
(2) Ketentuan lebih lanjut ihwal ujian nasional pendidikan diniyah dan standar kompetensi ilmu-ilmu yang bersumber dari pedoman Islam sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diputuskan dengan peraturan Menteri Agama dengan berpedoman kepada Standar Nasional Pendidikan.
Pasal 20
(1) Pendidikan diniyah pada jenjang pendidikan tinggi sanggup menyelenggarakan kegiatan akademik, vokasi, dan profesi berbentuk universitas, institut, atau sekolah tinggi.
(2) Kerangka dasar dan struktur kurikulum pendidikan untuk setiap kegiatan studi pada perguruan tinggi keagamaan Islam selain menekankan pembelajaran ilmu agama, wajib memasukkan pendidikan kewargguagaraan dan bahasa Indonesia.
(3) Mata kuliah dalam kurikulum kegiatan studi mempunyai beban berguru yang ditetapkan dalam satuan kredit semester (sks).
(4) Pendidikan diniyah jenjang pendidikan tinggi diselenggarakan sesuai dengan Standar Nasional Pendidikan.
7
Paragraf 2
Pendidikan Diniyah Nonformal
Pasal 21
(1) Pendidikan diniyah nonformal diselenggarakan dalam bentuk penpenghasilanan kitab, Majelis Taklim, Pendidikan Al Qur’an, Diniyah Takmiliyah, atau bentuk lain yang sejenis.
(2) Pendidikan diniyah nonformal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sanggup berbentuk satuan pendidikan.
(3) Pendidikan diniyah nonformal yang berubah menjadi satuan pendidikan wajib mendapat izin dari kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota sehabis memenuhi ketentuan ihwal persyaratan pendirian satuan pendidikan.
Pasal 22
(1) Penpenghasilanan kitab diselenggarakan dalam rangka mendalami pedoman Islam dan/atau menjadi jago ilmu agama Islam.
(2) Penyelenggaraan penpenghasilanan kitab sanggup dilaksanakan secara berjenjang atau tidak berjenjang.
(3) Penpenghasilanan kitab dilaksanakan di pondok pesantren, masjid, mushalla, atau tempat lain yang memenuhi syarat.
Pasal 23
(1) Majelis Taklim atau nama lain yang homogen bertujuan untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT dan moral mulia penerima didik serta mewujudkan rahmat bagi alam semesta.
(2) Kurikulum Majelis Taklim bersifat terbuka dengan mengacu pada pemahaman terhadap Al-Qur’an dan Hadits sebagai dasar untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT, serta moral mulia.
(3) Majelis Taklim dilaksanakan di masjid, mushalla, atau tempat lain yang memenuhi syarat.
Pasal 24
(1) Pendidikan Al-Qur’an bertujuan meningkatkan kemampuan penerima didik membaca, menulis, memahami, dan mengamalkan kandungan Al Qur’an.
(2) Pendidikan Al-Qur’an terdiri dari Taman Kanak-Kanak Al-Qur’an (TKQ), Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPQ), Ta’limul Qur’an lil Aulad (TQA), dan bentuk lain yang sejenis.
(3) Pendidikan Al-Qur’an sanggup dilaksanakan secara berjenjang dan tidak berjenjang.
(4) Penyelenggaraan pendidikan Al-Qur’an dipusatkan di masjid, mushalla, atau ditempat lain yang memenuhi syarat.
(5) Kurikulum pendidikan Al-Qur’an ialah membaca, menulis dan menghafal ayat-ayat Al Qur’an, tajwid, serta menghafal doa-doa utama.
(6) Pendidik pada pendidikan Al-Qur’an minimal lulusan pendidikan diniyah menengah atas atau yang sederajat, sanggup membaca Al-Qur’an dengan tartil dan menguasai metode pengajaran Al-Qur’an.
Pasal 25
(1) Diniyah takmiliyah bertujuan untuk melengkapi pendidikan agama Islam yang diperoleh di SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, SMK/MAK atau di pendidikan tinggi dalam rangka peningkatan keimanan dan ketakwaan penerima didik kepada Allah SWT.
(2) Penyelenggaraan diniyah takmiliyah sanggup dilaksanakan secara berjenjang atau
8
tidak berjenjang.
(3) Penyelenggaraan diniyah takmiliyah dilaksanakan di masjid, mushalla, atau di tempat lain yang memenuhi syarat.
(4) Penamaan atas diniyah takmiliyah ialah kewenangan penyelenggara.
(5) Penyelenggaraan diniyah takmiliyah sanggup dilaksanakan secara terpadu dengan SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, SMK/MAK atau pendidikan tinggi.
Paragraf 3
Pesantren
Pasal 26
(1) Pesantren menyelenggarakan pendidikan dengan tujuan menanamkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT, moral mulia, serta tradisi pesantren untuk membuatkan kemampuan, pengetahuan, dan keterampilan penerima didik untuk menjadi jago ilmu agama Islam (mutafaqqih fiddin) dan/atau menjadi muslim yang mempunyai keterampilan/keahlian untuk membangun kehidupan yang Islami di masyarakat.
(2) Pesantren menyelenggarakan pendidikan diniyah atau secara terpadu dengan jenis pendidikan lainnya pada jenjang pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, menengah, dan/atau pendidikan tinggi.
(3) Peserta didik dan/atau pendidik di pesantren yang diakui keahliannya di bidang ilmu agama tetapi tidak mempunyai ijazah pendidikan formal sanggup menjadi pendidik mata pelajaran/kuliah pendidikan agama di tiruana jalur, jenjang, dan jenis pendidikan yang memerlukan, sehabis menempuh uji kompetensi sesuai ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
Bagian Kedua
Pendidikan Keagamaan Kristen
Pasal 27
(1) Pendidikan keagamaan Kristen diselenggarakan pada jalur pendidikan formal, nonformal, dan informal.
(2) Pendidikan keagamaan Kristen jalur pendidikan formal diselenggarakan pada jenjang pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi.
(3) Pendidikan keagamaan Kristen jalur pendidikan formal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibina oleh Menteri Agama.
Pasal 28
Penamaan satuan pendidikan keagamaan Kristen jalur pendidikan formal jenjang pendidikan menengah dan tinggi ialah hak penyelenggara satuan pendidikan yang bersangkutan.
Pasal 29
(1) Pendidikan keagamaan Kristen jenjang pendidikan dasar ialah SD Teologi Kristen (SDTK) dan SMP Teologi Kristen (SMPTK).
(2) Pendidikan keagamaan Kristen jenjang pendidikan menengah ialah Sekolah Menengah Agama Kristen (SMAK) dan Sekolah Menengah Teologi Kristen (SMTK) atau yang sederajat, yang terdiri atas 3 (tiga) tingkat.
(3) Untuk sanggup diterima sebagai penerima didik pada pendidikan menengah keagamaan Kristen seseorang harus diberijazah SMP atau yang sederajat.
(4) Pengelolaan SMAK dan SMTK diselenggarakan oleh Pemerintah, gereja dan/atau forum keagamaan Kristen.
9
(5) Kurikulum SMAK dan SMTK memuat materi kajian ihwal agama/teologi Kristen dan kajian lainnya pada jenjang menengah.
(6) Isi dan materi kurikulum yang menyangkut dogma dan moral ialah kewenangan gereja dan/atau kelembagaan Kristen.
Pasal 30
(1) Pendidikan tinggi keagamaan Kristen diselenggarakan oleh gereja dan atau forum keagamaan Kristen.
(2) Pendidikan keagamaan jenjang pendidikan tinggi diselenggarakan dalam bentuk Sekolah Tinggi Agama Kristen (STAK) dan Sekolah Tinggi Teologi (STT) atau bentuk lain yang sejenis.
(3) STAK, STT atau bentuk lain yang homogen sanggup diselenggarakan oleh Pemerintah, pemerintah tempat dan/atau masyarakat.
(4) Penamaan satuan jenjang pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh gereja dan/atau forum keagamaan Kristen ialah hak penyelenggara satuan pendidikan yang bersangkutan.
(5) Isi/materi kurikulum menyangkut dogma dan moral pendidikan keagamaan Kristen/Teologi jenjang pendidikan tinggi ialah kewenangan gereja dan/atau forum keagamaan Kristen.
(6) Untuk sanggup diterima sebagai mahasiswa pada pendidikan tinggi keagamaan Kristen seseorang harus diberijazah Sekolah Menengan Atas atau yang sederajat.
Bagian Ketiga
Pendidikan Keagamaan Katolik
Pasal 31
(1) Pendidikan keagamaan Kristen diselenggarakan pada jalur pendidikan formal, nonformal, dan informal.
(2) Pendidikan keagamaan Kristen pada jalur pendidikan formal diselenggarakan pada jenjang pendidikan menengah dan tinggi.
(3) Pendidikan keagamaan Kristen pada jalur formal dibina oleh Menteri Agama.
Pasal 32
Penamaan satuan pendidikan keagamaan Kristen jalur pendidikan formal pada jenjang pendidikan menengah dan tinggi ialah hak penyelenggara satuan pendidikan yang bersangkutan.
Pasal 33
(1) Pendidikan keagamaan Kristen tingkat menengah ialah Sekolah Menengah Agama Kristen (SMAK) atau yang sederajat yang terdiri atas 3 (tiga) tingkat.
(2) Pendidikan keagamaan Kristen tingkat menengah dibina oleh Menteri Agama.
Pasal 34
Untuk sanggup diterima sebagai penerima didik pendidikan menengah keagamaan Kristen seseorang harus diberijazah SMP atau yang sederajat.
Pasal 35
(1) Kurikulum pendidikan keagamaan Kristen memuat materi kajian ihwal agama Kristen dan kajian lainnya pada jenjang menengah.
(2) Isi dan materi kurikulum yang menyangkut dogma dan moral ialah wewenang gereja Kristen dan/atau Uskup.
10
Pasal 36
Pengelolaan satuan pendidikan keagamaan Kristen tingkat menengah dilakukan oleh gereja Katolik/keuskupan.
Pasal 37
(1) Pendidikan keagamaan Kristen jenjang pendidikan tinggi diselenggarakan oleh gereja Katolik/keuskupan.
(2) Pendidikan keagamaan Kristen jenjang pendidikan tinggi ialah satuan pendidikan tinggi keagamaan yang mendapat ijin dari Menteri Agama.
(3) Pendidikan keagamaan Kristen jenjang pendidikan tinggi diselenggarakan dalam bentuk Sekolah Tinggi Pastoral/Kateketik/Teologi atau bentuk lain yang homogen dan sederajat.
(4) Penamaan satuan pendidikan keagamaan Kristen jenjang pendidikan tinggi ialah hak penyelenggara yang bersangkutan.
(5) Isi dan/atau materi kurikulum yang menyangkut dogma dan moral pendidikan keagamaan Kristen jenjang pendidikan tinggi ialah kewenangan gereja Katolik.
(6) Untuk sanggup diterima sebagai penerima didik pada pendidikan tinggi keagamaan Kristen seseorang harus diberijazah Sekolah Menengan Atas atau sederajat.
Bagian Keempat
Pendidikan Keagamaan Hindu
Pasal 38
(1) Pendidikan keagamaan Hindu ialah pendidikan berbasis masyarakat yang diselenggarakan dalam bentuk Pasraman, Pesantian, dan bentuk lain yang sejenis.
(2) Pengelolaan satuan pendidikan keagamaan Hindu dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat.
(3) Pendidikan Pasraman diselenggarakan pada jalur formal, dan nonformal.
(4) Pendidikan Pasraman diselenggarakan pada jalur formal setingkat Taman Kanak-kanak disebut Pratama Widya Pasraman, yaitu tingkat Pratama Widya Pasraman A (TK A) dan tingkat Pratama Widya Pasraman B (TK B).
(5) Pendidikan pasraman pada jalur formal jenjang pendidikan dasar setingkat SD disebut Adi Widya Pasraman terdiri atas 6 (enam) tingkat.
(6) Pendidikan Pasraman pada jalur formal jenjang pendidikan dasar setingkat SMP disebut Madyama Widya Pasraman terdiri atas 3 (tiga) tingkat.
(7) Pendidikan Pasraman pada jalur formal jenjang pendidikan menengah setingkat Sekolah Menengan Atas disebut Utama Widya Pasraman terdiri atas 3 (tiga) tingkat.
Pasal 39
(1) Untuk sanggup diterima sebagai penerima didik (Brahmacari) Adi Widya Pasraman, seseorang harus diberijazah Pratama Widya Pasraman atau yang sederajat.
(2) Untuk sanggup diterima sebagai penerima didik (Brahmacari) Madyama Widya Pasraman, seseorang harus diberijazah Adi Widya Pasraman atau yang sederajat.
(3) Untuk sanggup diterima sebagai penerima didik (Brahmacari) Utama Widya Pasraman, seseorang harus diberijazah Madyama Widya Pasraman atau yang sederajat.
(4) Pendidikan Adi Widya Pasraman terdiri atas 6 (enam) tingkat selama 6 (enam) tahun, pendidikan Madyama Widya Pasraman terdiri atas 3 (tiga) tingkat selama 3 (tiga) tahun, dan pendidikan Utama Widya Pasraman terdiri atas 3 (tiga) tingkat selama 3 (tiga) tahun.
11
(5) Peserta didik (Brahmacari) pada pendidikan Pasraman berkewajiban melaksanakan warna asrama dharma.
(6) Acarya atau pendidik membimbing, menuntun, dan membekali penerima didik (Brahmacari) dengan pengetahuan agama lainnya sesuai dengan kurikulum.
Pasal 40
(1) Maha Widya Pasraman atau pendidikan keagamaan tinggi Hindu, diselenggarakan oleh Pemerintah maupun masyarakat.
(2) Penamaan satuan jenjang Maha Widya Pasraman yang diselenggarakan oleh masyarakat ialah hak penyelenggara satuan pendidikan yang bersangkutan.
(3) Maha Widya Pasraman diselenggarakan sesuai dengan ketentuan ihwal pendidikan tinggi dalam Standar Nasional Pendidikan.
Pasal 41
(1) Pendidikan keagamaan Hindu nonformal dilaksanakan dalam bentuk Pesantian, sad dharma yaitu dharmatulla, dharma sadhana, dharma wacana, dharma yatra, dharma gita, dharma santi atau dalam bentuk lain yang sejenis.
(2) Pendidikan keagamaan Hindu nonformal ialah kegiatan pendidikan keagamaan Hindu secara berjenjang atau tidak berjenjang bertujuan untuk melengkapi pendidikan agama di sekolah formal dalam rangka meningkatkan sraddha dan bhakti penerima didik.
(3) Penyelenggaraan pendidikan keagamaan Hindu nonformal sebagai kegiatan pendidikan keagamaan Hindu berbasis masyarakat, diselenggarakan oleh forum sosial dan tradisional keagamaan Hindu, dilaksanakan di lingkungan tempat ibadah, balai adat, dan tempat lainnya yang memenuhi syarat.
(4) Pendidikan keagamaan Hindu nonformal didaftarkan keberadaannya kepada Menteri Agama.
Bagian Kelima
Pendidikan Keagamaan Buddha
Pasal 42
(1) Pendidikan keagamaan Buddha diselenggarakan oleh masyarakat pada jalur pendidikan nonformal dalam bentuk kegiatan Sekolah Minggu Buddha, Pabbajja Samguara, dan bentuk lain yang sejenis.
(2) Pengelolaan satuan pendidikan keagamaan Buddha dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat.
Pasal 43
(1) Pabbajja Samguara ialah pendidikan nonformal yang diselenggarakan oleh Sangha atau Majelis Keagamaan Buddha bertempat di Vihara/Cetiya yang diperuntukkan khusus bagi samguara, samguari, silacarini, buddhasiswa, dalam rangka peningkatan kualitas keimanan dan ketakwaan.
(2) Pabbajja Samguara bertujuan untuk menanamkan disiplin pertapaan sesuai dengan pedoman Sang Buddha dalam meningkatkan kualitas keimanan umat Buddha.
(3) Pabbajja Samguara dilaksanakan sekurang-kurangnya 2 (dua) minggu.
(4) Peserta didik Pabbajja Samguara mencakup anak-anak, remaja, dan dewasa.
(5) Kurikulum Pabbajja Samguara mencakup riwayat hidup Buddha Gotama, etika samguara, pokok-pokok dasar agama Buddha, paritta/mantra, meditasi, kedharmadutaan, dan materi penting terkait lainnya.
12
(6) Pendidik pada Pabbajja Samguara mencakup beberapa aspek para Bhikkhu/Bhiksu, Bhikkhuni/Bhiksuni, Pandita, Pendidik Agama, atau yang berkompetensi.
Pasal 44
(1) Sekolah Minggu Buddha ialah kegiatan berguru mengajar nonformal yang dilaksanakan di Vihara atau Cetya setiap hari Minggu secara rutin.
(2) Sekolah Minggu Buddha bertujuan untuk menanamkan saddha/sraddha dan bhakti penerima didik dalam rangka meningkatkan keimanan umat Buddha secara berkesinambungan.
(3) Sekolah Minggu Buddha diselenggarakan secara berjenjang atau tidak berjenjang.
(4) Sekolah Minggu Buddha ialah komplemen atau potongan dari pendidikan agama pada satuan pendidikan formal.
(5) Kurikulum Sekolah Minggu Buddha memuat materi kajian Paritta/Mantram, Dharmagita, Dhammapada, Meditasi, Jataka, Riwayat Hidup Buddha Gotama, dan Pokok-pokok Dasar Agama Buddha.
(6) Tenaga Pendidik pada Sekolah Minggu Buddhis mencakup beberapa aspek Bhikkhu/Bhiksu, Bhikkhuni/Bhiksuni, Samguara/Sramguara, Samguari/Sramguari, Pandita, Pendidik Agama, atau yang berkompetensi.
Bagian Keenam
Pendidikan Keagamaan Khonghucu
Pasal 45
(1) Pendidikan keagamaan Khonghucu diselenggarakan oleh masyarakat pada jalur pendidikan formal, nonformal, dan informal.
(2) Pendidikan keagamaan Khonghucu berbentuk kegiatan Sekolah Minggu, Diskusi Pendalaman Kitab Suci, Pendidikan Guru dan Rohaniwan Agama Khonghucu, atau bentuk lain yang sejenis.
(3) Pengelolaan satuan pendidikan keagamaan Khonghucu dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat.
Pasal 46
(1) Sekolah Minggu Khonghucu dan Diskusi Pendalaman Kitab Suci ialah kegiatan belajar-mengajar nonformal yang dilaksanakan di Xuetang, Litang, Miao dan Klenteng, yang dilaksanakan setiap ahad dan tanggal 1 serta 15 penanggalan lunar.
(2) Sekolah Minggu Khonghucu dan Diskusi Pendalaman Kitab Suci bertujuan untuk menanamkan keimanan dan akal pekerti penerima didik.
(3) Kurikulum Sekolah Minggu Khonghucu memuat materi kajian Daxue, Zhongyong, Lunyu, Mengzi, Yijing, Shujing, Liji, Shijing, Chun Qiu Jing, Xiaojing, Sejarah Suci Agama Khonghucu, serta Tata Agama/Peribadahan Khonghucu.
(4) Tenaga Pendidik pada pendidikan keagamaan Khonghucu mencakup beberapa aspek Jiaosheng, Wenshi, Xueshi, Zhanglao atau yang mempunyai kompetensi.
Pasal 47
Pendidikan Guru dan Rohaniwan Agama Khonghucu ialah pendidikan formal dan nonformal yang diselenggarakan di Shuyuan atau forum pendidikan lainnya dan oleh yayasan yang bergerak dalam pendidikan atau perkumpulan umat Khonghucu.
13
BAB IV
KETENTUAN LAIN
Pasal 48
Seluruh satuan pendidikan, program, dan kegiatan pendidikan keagamaan diselenggarakan dengan mengacu pada ketentuan yang diputuskan dalam Peraturan Pemerintah ini.
BAB V
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 49
Semua peraturan perundang-undangan yang ialah peraturan pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang pendidikan agama dan pendidikan keagamaan yang ada pada ketika diberlakukan Peraturan Pemerintah ini masih tetap berlaku sepanjang tidak berperihalan dengan Peraturan Pemerintah ini atau belum diganti dengan peraturan yang gres menurut Peraturan Pemerintah ini.
BAB VI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 50
Semua peraturan perundang-undangan yang dibutuhkan untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah ini harus diselesaikan paling lambat dua tahun terhitung semenjak tanggal berlakunya Peraturan Pemerintah ini.
Pasal 51
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang sanggup mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 5 Oktober 2007
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
DR.H.SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 5 Oktober 2007
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA
ttd.
ANDI MATTALATTA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2007 NOMOR 124
14
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 55 TAHUN 2007
TENTANG
PENDIDIKAN AGAMA DAN PENDIDIKAN KEAGAMAAN
I. UMUM
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 31 ayat (3) berbunyi: “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta moral mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang”. Atas dasar amanat UUD 1945 tersebut, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 ihwal Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 3 menyatakan bahwa pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi penerima didik biar menjadi insan yang diberiman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Mahan Esa, berakhlak mulia, sehat, diberilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi masyarakat negara yang demokratis serta bertanggung jawaban. Dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 ihwal Sistem Pendidikan Nasional ditegaskan bahwa taktik pertama dalam melaksanakan pembaruan sistem pendidikan nasional ialah “pelaksanaan pendidikan agama dan moral mulia”.
Selanjutnya, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 ihwal Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 37 ayat (1) mewajibkan Pendidikan Agama dimuat dalam kurikulum pendidikan dasar, menengah dan tinggi. Pendidikan agama pada jenis pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, vokasi, dan khusus disebut “Pendidikan Agama”. Penyebutan pendidikan agama ini dimaksudkan biar agama sanggup dibelajarkan secara lebih luas dari sekedar mata pelajaran /kuliah agama. Pendidikan Agama dengan demikian sekurang-kurangnya perlu berbentuk mata pelajaran/mata kuliah Pendidikan Agama untuk menghindari kemungkinan abolisi pendidikan agama di suatu satuan pendidikan dengan alasan sudah dibelajarkan secara terintegrasi. Ketentuan tersebut terutama pada penyelenggaraan pendidikan formal dan pendidikan kesetaraan.
Selain itu, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 ihwal Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 12 ayat (1) abjad a mengamanatkan bahwa setiap penerima didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapat pendidikan agama sesuai agama yang dianutnya dan diajar oleh pendidik yang seagama. Ketentuan ini setidaknya mempunyai 3 (tiga) tujuan, yaitu pertama, untuk menjaga keutuhan dan kemurnian pedoman agama; kedua, dengan adanya guru agama yang seagama dan memenuhi syarat kelayakan mengajar akan sanggup menjaga kerukunan hidup beragama bagi penerima didik yang tidak sama agama tapi berguru pada satuan pendidikan yang sama; ketiga, pendidikan agama yang diajarkan oleh pendidik yang seagama menandakan profesionalitas dalam penyelenggaraan proses pembelajaran pendidikan agama.
Pendidikan keagamaan pada umumnya diselenggarakan oleh masyarakat sebagai perwujudan pendidikan dari, oleh, dan untuk masyarakat. Jauh sebelum Indonesia merdeka, perguruan-perguruan keagamaan sudah lebih dulu berkembang. Selain menjadi akar budaya bangsa, agama disadari ialah potongan tak terpisahkan dalam pendidikan. Pendidikan keagamaan juga berkembang akhir mata pelajaran/kuliah pendidikan agama yang dinilai menghadapi aneka macam keterbatasan. Sebagian masyarakat mengatasinya dengan tambahan pendidikan agama di rumah, rumah ibadah, atau di perkumpulan-perkumpulan yang kemudian
15
berkembang menjadi satuan atau kegiatan pendidikan keagamaan formal, nonformal atau informal.
Secara historis, keberadaan pendidikan keagamaan berbasis masyarakat menjadi sangat penting dalam upaya pembangunan masyarakat belajar, terlebih lagi sebab bersumber dari aspirasi masyarakat yang sekaligus mencerminkan kebutuhan masyarakat bekerjsama akan jenis layanan pendidikan. Dalam kenyataan terdapat kesentidakboleh sumber daya yang besar antar satuan pendidikan keagamaan. Sebagai komponen Sistem Pendidikan Nasional, pendidikan keagamaan perlu didiberi peluang untuk berkembang, dibina dan ditingkatkan mutunya oleh tiruana komponen bangsa, termasuk Pemerintah dan pemerintah daerah.
Rancangan Peraturan Pemerintah ihwal Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan ialah kesepakatan bersama pihak-pihak yang mewakili umat Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Khonghucu. Masing-masing sudah memvalidasi rumusan norma aturan secara optimal sesuai karakteristik agama masing-masing.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Ayat (1)
Kurikulum pendidikan agama bagi penerima didik yang beragama tidak sama dengan kekhasan agama satuan pendidikan memakai kurikulum pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianut penerima didik.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Kerjasama ihwal penyelenggaraan pendidikan agama dengan penyelenggara pendidikan agama di masyarakat memperhatikan kurikulum tingkat satuan pendidikan.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Ayat (1)
16
Beberapa satuan pendidikan sanggup berhubungan menyediakan pendidik pendidikan agama.
Ayat (2)
Dalam hal penyediaan pendidik pendidikan agama tidak sanggup dilakukan oleh setiap atau beberapa satuan pendidikan, maka Pemerintah dan/atau pemerintah tempat sanggup menyediakan tempat penyelenggaraan pendidikan agama dengan menggabungkan para penerima didik seagama dari beberapa satuan pendidikan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 7
Ayat (1)
Pemerintah/pemerintah tempat wajib menyalurkan penerima didik, pendidik, dan tenaga kependidikan pada satuan pendidikan yang ditutup ke satuan pendidikan lain yang sejenis.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Keterampilan mencakup beberapa aspek pola-pola pendidikan yang dikembangkan pada jenis pendidikan kejuruan, vokasi, dan pendidikan kecakapan/keahlian lainnya.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Ayat (1)
Pemdiberian menolongan sumber daya pendidikan mencakup pendidik, tenaga kependidikan, dana, serta masukana dan pramasukana pendidikan lainnya.
Pemdiberian menolongan disalurkan secara adil kepada seluruh pendidikan keagamaan pada tiruana jalur, jenjang dan jenis pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat.
pertolongan dana pendidikan memakai satuan dan mata anggaran yang berlaku pada jenis pendidikan lain sesuai peraturan perundang-undangan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
17
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Ilmu-ilmu yang bersumber dari pedoman agama Islam mencakup ilmu agama Islam (dirasah Islamiyah), atau terpadu dengan ilmu-ilmu umum dan keterampilan.
Ilmu agama Islam (dirasah Islamiyah) sanggup memakai pembagian terstruktur mengenai tema: aqidah, tafsir, hadis, usul fikih, fikih, akhlak, tasawuf, dan tarikh Islam.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Ayat (1) dan Ayat (2)
Pendidik/satuan pendidikan sanggup menggabungkan aneka macam muatan pendidikan menjadi satu mata pelajaran atau lebih dalam kurikulum.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Ayat (1)
Pendidikan diniyah jenjang pendidikan tinggi antara lain Ma’had ‘Aly.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Ayat (1)
Penpenghasilanan kitab di dalam pesantren diselenggarakan untuk mengkaji kandungan Al Alquran dan As sunnah dan pemahaman transformatif atas kitab-kitab salaf (kitab kuning) dan kholaf (modern).
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
18
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Penamaan “diniyah takmiliyah” yang umum digunakan masyarakat ialah madrasah diniyah.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.
19
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 43
Cukup jelas.
Pasal 44
Cukup jelas.
Pasal 45
Cukup jelas.
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
Cukup jelas.
Pasal 48
Cukup jelas.
Pasal 49
Cukup jelas.
Pasal 50
Cukup jelas.
Pasal 51
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4769
NOMOR 55 TAHUN 2007
TENTANG
PENDIDIKAN AGAMA DAN PENDIDIKAN KEAGAMAAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 12 ayat (4), Pasal 30 ayat (5), dan Pasal 37 ayat (3) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 ihwal Sistem Pendidikan Nasional, perlu memutuskan Peraturan Pemerintah ihwal Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan;
Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 ihwal Sistem Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 78 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4301);
3. Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 jo Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1965 Nomor 3, Tambahan Negara Republik Indonesia Nomor 2727);
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PENDIDIKAN AGAMA DAN PENDIDIKAN KEAGAMAAN
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini, yang dimaksud dengan:
1. Pendidikan agama ialah pendidikan yang mempersembahkan pengetahuan dan membentuk sikap, kepribadian, dan keterampilan penerima didik dalam mengamalkan pedoman agamanya, yang dilaksanakan sekurang-kurangnya melalui mata pelajaran/kuliah pada tiruana jalur, jenjang, dan jenis pendidikan.
2. Pendidikan keagamaan ialah pendidikan yang mempersiapkan penerima didik untuk sanggup menjalankan peranan yang menuntut penguasaan pengetahuan ihwal pedoman agama dan/atau menjadi jago ilmu agama dan mengamalkan pedoman agamanya.
3. Pendidikan diniyah ialah pendidikan keagamaan Islam yang diselenggarakan pada tiruana jalur dan jenjang pendidikan.
4. Pesantren atau pondok pesantren ialah forum pendidikan keagamaan Islam berbasis masyarakat yang menyelenggarakan pendidikan diniyah atau secara terpadu dengan jenis pendidikan lainnya.
5. Pasraman ialah satuan pendidikan keagamaan Hindu pada jalur pendidikan formal dan nonformal.
6. Pesantian ialah satuan pendidikan keagamaan Hindu pada jalur pendidikan nonformal yang mengacu pada sastra agama dan/atau kitab suci Weda.
2
7. Pabbajja samguara ialah satuan pendidikan keagamaan Buddha pada jalur pendidikan nonformal.
8. Shuyuan ialah satuan pendidikan keagamaan Khonghucu yang diselenggarakan pada tiruana jalur dan jenjang pendidikan yang mengacu pada Si Shu Wu Jing.
9. Tempat pendidikan agama ialah ruangan yang digunakan untuk melaksanakan pendidikan agama.
10. Rumah ibadah ialah bangunan yang secara khusus dibangun untuk keperluan tempat diberibadah masyarakat satuan pendidikan yang bersangkutan dan/atau masyarakat umum.
11. Menteri ialah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendidikan.
12. Menteri Agama ialah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agama.
BAB II
PENDIDIKAN AGAMA
Pasal 2
(1) Pendidikan agama berfungsi membentuk insan Indonesia yang diberiman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia dan bisa menjaga kedamaian dan kerukunan kekerabatan inter dan antarumat beragama.
(2) Pendidikan agama bertujuan untuk berkembangnya kemampuan penerima didik dalam memahami, menghayati, dan mengamalkan nilai-nilai agama yang menyerasikan penguasaannya dalam ilmu pengetahuan, teknologi dan seni.
Pasal 3
(1) Setiap satuan pendidikan pada tiruana jalur, jenjang, dan jenis pendidikan wajib menyelenggarakan pendidikan agama.
(2) Pengelolaan pendidikan agama dilaksanakan oleh Menteri Agama.
Pasal 4
(1) Pendidikan agama pada pendidikan formal dan kegiatan pendidikan kesetaraan sekurang-kurangnya diselenggarakan dalam bentuk mata pelajaran atau mata kuliah agama.
(2) Setiap penerima didik pada satuan pendidikan di tiruana jalur, jenjang, dan jenis pendidikan berhak mendapat pendidikan agama sesuai agama yang dianutnya dan diajar oleh pendidik yang seagama.
(3) Setiap satuan pendidikan menyediakan tempat menyelenggarakan pendidikan agama.
(4) Satuan pendidikan yang tidak sanggup menyediakan tempat menyelenggarakan pendidikan agama sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sanggup bekerja sama dengan satuan pendidikan yang setingkat atau penyelenggara pendidikan agama di masyarakat untuk menyelenggarakan pendidikan agama bagi penerima didik.
(5) Setiap satuan pendidikan menyediakan tempat dan peluang kepada penerima didik untuk melaksanakan ibadah menurut ketentuan agama yang dianut oleh penerima didik.
(6) Tempat melaksanakan ibadah agama sebagaimana dimaksud pada ayat (5) sanggup berupa ruangan di dalam atau di sekitar lingkungan satuan pendidikan yang sanggup digunakan penerima didik menjalankan ibadahnya.
(7) Satuan pendidikan yang berciri khas agama tertentu tidak berkewajiban membangun rumah ibadah agama lain selain yang sesuai dengan ciri khas agama satuan pendidikan yang bersangkutan.
3
Pasal 5
(1) Kurikulum pendidikan agama dilaksanakan sesuai Standar Nasional Pendidikan.
(2) Pendidikan agama diajarkan sesuai dengan tahap perkembangan kejiwaan penerima didik.
(3) Pendidikan agama mendorong penerima didik untuk taat menjalankan pedoman agamanya dalam kehidupan sehari-hari dan menyebabkan agama sebagai landasan etika dan moral dalam kehidupan pribadi, berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
(4) Pendidikan agama mewujudkan keharmonisan, kerukunan, dan rasa hormat diantara sesama pemeluk agama yang dianut dan terhadap pemeluk agama lain.
(5) Pendidikan agama membangun sikap mental penerima didik untuk bersikap dan berperilaku jujur, amanah, disiplin, bekerja keras, mandiri, percaya diri, kompetitif, kooperatif, tulus, dan bertanggung jawaban.
(6) Pendidikan agama menumbuhkan sikap kritis, inovatif, dan dinamis, sehingga menjadi pendorong penerima didik untuk mempunyai kompetensi dalam bidang ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan/atau olahraga.
(7) Pendidikan agama diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, sangat bahagia, menantang, mendorong kreativitas dan kemandirian, serta menumbuhkan motivasi untuk hidup sukses.
(8) Satuan pendidikan sanggup menambah muatan pendidikan agama sesuai kebutuhan.
(9) Muatan sebagaimana dimaksud pada ayat (8) sanggup berupa tambahan materi, jam pelajaran, dan kedalaman materi.
Pasal 6
(1) Pendidik pendidikan agama pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau pemerintah tempat disediakan oleh Pemerintah atau pemerintah tempat sesuai kewenangan masing-masing menurut ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
(2) Pendidik pendidikan agama pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat disediakan oleh satuan pendidikan yang bersangkutan.
(3) Dalam hal satuan pendidikan tidak sanggup menyediakannya, maka Pemerintah dan/atau pemerintah tempat wajib menyediakannya sesuai kebutuhan satuan pendidikan.
Pasal 7
(1) Satuan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan agama tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1), Pasal 4 ayat (2) hingga dengan ayat (7), dan Pasal 5 ayat (1) dikenakan hukuman administratif berupa peringatan hingga dengan penutupan sehabis diadakan pembinaan/pembimbingan oleh Pemerintah dan/atau pemerintah daerah.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk:
a. satuan pendidikan tinggi dilakukan oleh Menteri sehabis memperoleh pertimbangan dari Menteri Agama;
b. satuan pendidikan dasar dan menengah dilakukan oleh bupati/walikota sehabis memperoleh pertimbangan dari Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota.
c. satuan pendidikan dasar dan menengah yang dikembangkan oleh pemerintah tempat menjadi bertaraf internasional dilakukan oleh kepala pemerintahan tempat yang mengembangkannya sehabis memperoleh pertimbangan dari Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama Provinsi atau Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota.
4
(3) Ketentuan lebih lanjut ihwal hukuman administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), ihwal pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan agama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5, serta ihwal pendidik pendidikan agama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 diatur dengan Peraturan Menteri Agama.
BAB III
PENDIDIKAN KEAGAMAAN
Pasal 8
(1) Pendidikan keagamaan berfungsi mempersiapkan penerima didik menjadi anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai pedoman agamanya dan/atau menjadi jago ilmu agama.
(2) Pendidikan keagamaan bertujuan untuk terbentuknya penerima didik yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai pedoman agamanya dan/atau menjadi jago ilmu agama yang berwawasan luas, kritis, kreatif, inovatif, dan dinamis dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diberiman, bertakwa, dan berakhlak mulia.
Pasal 9
(1) Pendidikan keagamaan mencakup pendidikan keagamaan Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Khonghucu.
(2) Pendidikan keagamaan diselenggarakan pada jalur pendidikan formal, nonformal, dan informal.
(3) Pengelolaan pendidikan keagamaan dilakukan oleh Menteri Agama.
Pasal 10
(1) Pendidikan keagamaan menyelenggarakan pendidikan ilmu-ilmu yang bersumber dari pedoman agama.
(2) Penyelenggaraan pendidikan ilmu yang bersumber dari pedoman agama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang memadukan ilmu agama dan ilmu umum/keterampilan terutama bertujuan untuk mempersiapkan penerima didik pindah pada jenjang yang sama atau melanjutkan ke pendidikan umum atau yang lainnya pada jenjang diberikutnya.
Pasal 11
(1) Peserta didik pada pendidikan keagamaan jenjang pendidikan dasar dan menengah yang terakreditasi berhak pindah ke tingkat yang setara di SD (SD), Madrasah Ibtidaiyah (MI), SMP (SMP), Madrasah Tsanawiyah (MTs), Sekolah Menengah Atas (SMA), Madrasah Aliyah (MA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat sehabis memenuhi persyaratan.
(2) Hasil pendidikan keagamaan nonformal dan/atau informal sanggup dihargai sederajat dengan hasil pendidikan formal keagamaan/umum/kejuruan sehabis lulus ujian yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang terakreditasi yang ditunjuk oleh Pemerintah dan/atau pemerintah daerah.
(3) Peserta didik pendidikan keagamaan formal, nonformal, dan informal yang memperoleh ijazah sederajat pendidikan formal umum/kejuruan sanggup melanjutkan ke jenjang diberikutnya pada pendidikan keagamaan atau jenis pendidikan yang lainnya.
Pasal 12
(1) Pemerintah dan/atau pemerintah tempat memdiberi menolongan sumber daya
5
pendidikan kepada pendidikan keagamaan.
(2) Pemerintah melindungi kemandirian dan kekhasan pendidikan keagamaan selama tidak berperihalan dengan tujuan pendidikan nasional.
(3) Pemerintah dan/atau forum berdikari yang berwenang, melaksanakan legalisasi atas pendidikan keagamaan untuk penjaminan dan pengendalian mutu pendidikan sesuai Standar Nasional Pendidikan.
(4) Akreditasi atas pendidikan keagamaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan sehabis memperoleh pertimbangan dari Menteri Agama.
Pasal 13
(1) Pendidikan keagamaan sanggup berbentuk satuan atau kegiatan pendidikan.
(2) Pendidikan keagamaan sanggup didirikan oleh Pemerintah, pemerintah tempat dan/atau masyarakat.
(3) Pendirian satuan pendidikan keagamaan wajib memperoleh izin dari Menteri Agama atau pejabat yang ditunjuk.
(4) Syarat pendirian satuan pendidikan keagamaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) terdiri atas:
a. isi pendidikan/kurikulum;
b. jumlah dan kualifikasi pendidik dan tenaga kependidikan;
c. masukana dan pramasukana yang memungkinkan terselenggaranya kegiatan pembelajaran;
d. sumber pembiayaan untuk kelangsungan kegiatan pendidikan sekurang-kurangnya untuk 1 (satu) tahun pendidikan/akademik diberikutnya;
e. sistem evaluasi; dan
f. administrasi dan proses pendidikan.
(5) Ketentuan lebih lanjut ihwal syarat-syarat pendirian satuan pendidikan keagamaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) abjad a, abjad b, abjad c, abjad d, dan abjad e diatur dengan Peraturan Menteri Agama dengan berpedoman pada ketentuan Standar Nasional Pendidikan.
(6) Pendidikan keagamaan jalur nonformal yang tidak berbentuk satuan pendidikan yang mempunyai penerima didik 15 (lima belas) orang atau lebih ialah kegiatan pendidikan yang wajib mendaftarkan diri kepada Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota.
Bagian Kesatu
Pendidikan Keagamaan Islam
Pasal 14
(1) Pendidikan keagamaan Islam berbentuk pendidikan diniyah dan pesantren.
(2) Pendidikan diniyah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan pada jalur formal, nonformal, dan informal.
(3) Pesantren sanggup menyelenggarakan 1 (satu) atau aneka macam satuan dan/atau kegiatan pendidikan pada jalur formal, nonformal, dan informal.
Paragraf 1
Pendidikan Diniyah Formal
Pasal 15
Pendidikan diniyah formal menyelenggarakan pendidikan ilmu-ilmu yang bersumber dari pedoman agama Islam pada jenjang pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi.
6
Pasal 16
(1) Pendidikan diniyah dasar menyelenggarakan pendidikan dasar sederajat MI/SD yang terdiri atas 6 (enam) tingkat dan pendidikan diniyah menengah pertama sederajat MTs/SMP yang terdiri atas 3 (tiga) tingkat.
(2) Pendidikan diniyah menengah menyelenggarakan pendidikan diniyah menengah atas sederajat MA/SMA yang terdiri atas 3 (tiga) tingkat.
(3) Penamaan satuan pendidikan diniyah dasar dan menengah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ialah hak penyelenggara pendidikan yang bersangkutan.
Pasal 17
(1) Untuk sanggup diterima sebagai penerima didik pendidikan diniyah dasar, seseorang harus berusia sekurang-kurangnya 7 (tujuh) tahun.
(2) Dalam hal daya tampung satuan pendidikan masih tersedia maka seseorang yang berusia 6 (enam) tahun sanggup diterima sebagai penerima didik pendidikan diniyah dasar.
(3) Untuk sanggup diterima sebagai penerima didik pendidikan diniyah menengah pertama, seseorang harus diberijazah pendidikan diniyah dasar atau yang sederajat.
(4) Untuk sanggup diterima sebagai penerima didik pendidikan diniyah menengah atas, seseorang harus diberijazah pendidikan diniyah menengah pertama atau yang sederajat.
Pasal 18
(1) Kurikulum pendidikan diniyah dasar formal wajib memasukkan muatan pendidikan kewargguagaraan, bahasa Indonesia, matematika, dan ilmu pengetahuan alam dalam rangka pelaksanaan kegiatan wajib belajar.
(2) Kurikulum pendidikan diniyah menengah formal wajib memasukkan muatan pendidikan kewargguagaraan, bahasa Indonesia, matematika, ilmu pengetahuan alam, serta seni dan budaya.
Pasal 19
(1) Ujian nasional pendidikan diniyah dasar dan menengah diselenggarakan untuk memilih standar pencapaian kompetensi penerima didik atas ilmu-ilmu yang bersumber dari pedoman Islam.
(2) Ketentuan lebih lanjut ihwal ujian nasional pendidikan diniyah dan standar kompetensi ilmu-ilmu yang bersumber dari pedoman Islam sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diputuskan dengan peraturan Menteri Agama dengan berpedoman kepada Standar Nasional Pendidikan.
Pasal 20
(1) Pendidikan diniyah pada jenjang pendidikan tinggi sanggup menyelenggarakan kegiatan akademik, vokasi, dan profesi berbentuk universitas, institut, atau sekolah tinggi.
(2) Kerangka dasar dan struktur kurikulum pendidikan untuk setiap kegiatan studi pada perguruan tinggi keagamaan Islam selain menekankan pembelajaran ilmu agama, wajib memasukkan pendidikan kewargguagaraan dan bahasa Indonesia.
(3) Mata kuliah dalam kurikulum kegiatan studi mempunyai beban berguru yang ditetapkan dalam satuan kredit semester (sks).
(4) Pendidikan diniyah jenjang pendidikan tinggi diselenggarakan sesuai dengan Standar Nasional Pendidikan.
7
Paragraf 2
Pendidikan Diniyah Nonformal
Pasal 21
(1) Pendidikan diniyah nonformal diselenggarakan dalam bentuk penpenghasilanan kitab, Majelis Taklim, Pendidikan Al Qur’an, Diniyah Takmiliyah, atau bentuk lain yang sejenis.
(2) Pendidikan diniyah nonformal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sanggup berbentuk satuan pendidikan.
(3) Pendidikan diniyah nonformal yang berubah menjadi satuan pendidikan wajib mendapat izin dari kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota sehabis memenuhi ketentuan ihwal persyaratan pendirian satuan pendidikan.
Pasal 22
(1) Penpenghasilanan kitab diselenggarakan dalam rangka mendalami pedoman Islam dan/atau menjadi jago ilmu agama Islam.
(2) Penyelenggaraan penpenghasilanan kitab sanggup dilaksanakan secara berjenjang atau tidak berjenjang.
(3) Penpenghasilanan kitab dilaksanakan di pondok pesantren, masjid, mushalla, atau tempat lain yang memenuhi syarat.
Pasal 23
(1) Majelis Taklim atau nama lain yang homogen bertujuan untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT dan moral mulia penerima didik serta mewujudkan rahmat bagi alam semesta.
(2) Kurikulum Majelis Taklim bersifat terbuka dengan mengacu pada pemahaman terhadap Al-Qur’an dan Hadits sebagai dasar untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT, serta moral mulia.
(3) Majelis Taklim dilaksanakan di masjid, mushalla, atau tempat lain yang memenuhi syarat.
Pasal 24
(1) Pendidikan Al-Qur’an bertujuan meningkatkan kemampuan penerima didik membaca, menulis, memahami, dan mengamalkan kandungan Al Qur’an.
(2) Pendidikan Al-Qur’an terdiri dari Taman Kanak-Kanak Al-Qur’an (TKQ), Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPQ), Ta’limul Qur’an lil Aulad (TQA), dan bentuk lain yang sejenis.
(3) Pendidikan Al-Qur’an sanggup dilaksanakan secara berjenjang dan tidak berjenjang.
(4) Penyelenggaraan pendidikan Al-Qur’an dipusatkan di masjid, mushalla, atau ditempat lain yang memenuhi syarat.
(5) Kurikulum pendidikan Al-Qur’an ialah membaca, menulis dan menghafal ayat-ayat Al Qur’an, tajwid, serta menghafal doa-doa utama.
(6) Pendidik pada pendidikan Al-Qur’an minimal lulusan pendidikan diniyah menengah atas atau yang sederajat, sanggup membaca Al-Qur’an dengan tartil dan menguasai metode pengajaran Al-Qur’an.
Pasal 25
(1) Diniyah takmiliyah bertujuan untuk melengkapi pendidikan agama Islam yang diperoleh di SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, SMK/MAK atau di pendidikan tinggi dalam rangka peningkatan keimanan dan ketakwaan penerima didik kepada Allah SWT.
(2) Penyelenggaraan diniyah takmiliyah sanggup dilaksanakan secara berjenjang atau
8
tidak berjenjang.
(3) Penyelenggaraan diniyah takmiliyah dilaksanakan di masjid, mushalla, atau di tempat lain yang memenuhi syarat.
(4) Penamaan atas diniyah takmiliyah ialah kewenangan penyelenggara.
(5) Penyelenggaraan diniyah takmiliyah sanggup dilaksanakan secara terpadu dengan SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, SMK/MAK atau pendidikan tinggi.
Paragraf 3
Pesantren
Pasal 26
(1) Pesantren menyelenggarakan pendidikan dengan tujuan menanamkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT, moral mulia, serta tradisi pesantren untuk membuatkan kemampuan, pengetahuan, dan keterampilan penerima didik untuk menjadi jago ilmu agama Islam (mutafaqqih fiddin) dan/atau menjadi muslim yang mempunyai keterampilan/keahlian untuk membangun kehidupan yang Islami di masyarakat.
(2) Pesantren menyelenggarakan pendidikan diniyah atau secara terpadu dengan jenis pendidikan lainnya pada jenjang pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, menengah, dan/atau pendidikan tinggi.
(3) Peserta didik dan/atau pendidik di pesantren yang diakui keahliannya di bidang ilmu agama tetapi tidak mempunyai ijazah pendidikan formal sanggup menjadi pendidik mata pelajaran/kuliah pendidikan agama di tiruana jalur, jenjang, dan jenis pendidikan yang memerlukan, sehabis menempuh uji kompetensi sesuai ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
Bagian Kedua
Pendidikan Keagamaan Kristen
Pasal 27
(1) Pendidikan keagamaan Kristen diselenggarakan pada jalur pendidikan formal, nonformal, dan informal.
(2) Pendidikan keagamaan Kristen jalur pendidikan formal diselenggarakan pada jenjang pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi.
(3) Pendidikan keagamaan Kristen jalur pendidikan formal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibina oleh Menteri Agama.
Pasal 28
Penamaan satuan pendidikan keagamaan Kristen jalur pendidikan formal jenjang pendidikan menengah dan tinggi ialah hak penyelenggara satuan pendidikan yang bersangkutan.
Pasal 29
(1) Pendidikan keagamaan Kristen jenjang pendidikan dasar ialah SD Teologi Kristen (SDTK) dan SMP Teologi Kristen (SMPTK).
(2) Pendidikan keagamaan Kristen jenjang pendidikan menengah ialah Sekolah Menengah Agama Kristen (SMAK) dan Sekolah Menengah Teologi Kristen (SMTK) atau yang sederajat, yang terdiri atas 3 (tiga) tingkat.
(3) Untuk sanggup diterima sebagai penerima didik pada pendidikan menengah keagamaan Kristen seseorang harus diberijazah SMP atau yang sederajat.
(4) Pengelolaan SMAK dan SMTK diselenggarakan oleh Pemerintah, gereja dan/atau forum keagamaan Kristen.
9
(5) Kurikulum SMAK dan SMTK memuat materi kajian ihwal agama/teologi Kristen dan kajian lainnya pada jenjang menengah.
(6) Isi dan materi kurikulum yang menyangkut dogma dan moral ialah kewenangan gereja dan/atau kelembagaan Kristen.
Pasal 30
(1) Pendidikan tinggi keagamaan Kristen diselenggarakan oleh gereja dan atau forum keagamaan Kristen.
(2) Pendidikan keagamaan jenjang pendidikan tinggi diselenggarakan dalam bentuk Sekolah Tinggi Agama Kristen (STAK) dan Sekolah Tinggi Teologi (STT) atau bentuk lain yang sejenis.
(3) STAK, STT atau bentuk lain yang homogen sanggup diselenggarakan oleh Pemerintah, pemerintah tempat dan/atau masyarakat.
(4) Penamaan satuan jenjang pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh gereja dan/atau forum keagamaan Kristen ialah hak penyelenggara satuan pendidikan yang bersangkutan.
(5) Isi/materi kurikulum menyangkut dogma dan moral pendidikan keagamaan Kristen/Teologi jenjang pendidikan tinggi ialah kewenangan gereja dan/atau forum keagamaan Kristen.
(6) Untuk sanggup diterima sebagai mahasiswa pada pendidikan tinggi keagamaan Kristen seseorang harus diberijazah Sekolah Menengan Atas atau yang sederajat.
Bagian Ketiga
Pendidikan Keagamaan Katolik
Pasal 31
(1) Pendidikan keagamaan Kristen diselenggarakan pada jalur pendidikan formal, nonformal, dan informal.
(2) Pendidikan keagamaan Kristen pada jalur pendidikan formal diselenggarakan pada jenjang pendidikan menengah dan tinggi.
(3) Pendidikan keagamaan Kristen pada jalur formal dibina oleh Menteri Agama.
Pasal 32
Penamaan satuan pendidikan keagamaan Kristen jalur pendidikan formal pada jenjang pendidikan menengah dan tinggi ialah hak penyelenggara satuan pendidikan yang bersangkutan.
Pasal 33
(1) Pendidikan keagamaan Kristen tingkat menengah ialah Sekolah Menengah Agama Kristen (SMAK) atau yang sederajat yang terdiri atas 3 (tiga) tingkat.
(2) Pendidikan keagamaan Kristen tingkat menengah dibina oleh Menteri Agama.
Pasal 34
Untuk sanggup diterima sebagai penerima didik pendidikan menengah keagamaan Kristen seseorang harus diberijazah SMP atau yang sederajat.
Pasal 35
(1) Kurikulum pendidikan keagamaan Kristen memuat materi kajian ihwal agama Kristen dan kajian lainnya pada jenjang menengah.
(2) Isi dan materi kurikulum yang menyangkut dogma dan moral ialah wewenang gereja Kristen dan/atau Uskup.
10
Pasal 36
Pengelolaan satuan pendidikan keagamaan Kristen tingkat menengah dilakukan oleh gereja Katolik/keuskupan.
Pasal 37
(1) Pendidikan keagamaan Kristen jenjang pendidikan tinggi diselenggarakan oleh gereja Katolik/keuskupan.
(2) Pendidikan keagamaan Kristen jenjang pendidikan tinggi ialah satuan pendidikan tinggi keagamaan yang mendapat ijin dari Menteri Agama.
(3) Pendidikan keagamaan Kristen jenjang pendidikan tinggi diselenggarakan dalam bentuk Sekolah Tinggi Pastoral/Kateketik/Teologi atau bentuk lain yang homogen dan sederajat.
(4) Penamaan satuan pendidikan keagamaan Kristen jenjang pendidikan tinggi ialah hak penyelenggara yang bersangkutan.
(5) Isi dan/atau materi kurikulum yang menyangkut dogma dan moral pendidikan keagamaan Kristen jenjang pendidikan tinggi ialah kewenangan gereja Katolik.
(6) Untuk sanggup diterima sebagai penerima didik pada pendidikan tinggi keagamaan Kristen seseorang harus diberijazah Sekolah Menengan Atas atau sederajat.
Bagian Keempat
Pendidikan Keagamaan Hindu
Pasal 38
(1) Pendidikan keagamaan Hindu ialah pendidikan berbasis masyarakat yang diselenggarakan dalam bentuk Pasraman, Pesantian, dan bentuk lain yang sejenis.
(2) Pengelolaan satuan pendidikan keagamaan Hindu dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat.
(3) Pendidikan Pasraman diselenggarakan pada jalur formal, dan nonformal.
(4) Pendidikan Pasraman diselenggarakan pada jalur formal setingkat Taman Kanak-kanak disebut Pratama Widya Pasraman, yaitu tingkat Pratama Widya Pasraman A (TK A) dan tingkat Pratama Widya Pasraman B (TK B).
(5) Pendidikan pasraman pada jalur formal jenjang pendidikan dasar setingkat SD disebut Adi Widya Pasraman terdiri atas 6 (enam) tingkat.
(6) Pendidikan Pasraman pada jalur formal jenjang pendidikan dasar setingkat SMP disebut Madyama Widya Pasraman terdiri atas 3 (tiga) tingkat.
(7) Pendidikan Pasraman pada jalur formal jenjang pendidikan menengah setingkat Sekolah Menengan Atas disebut Utama Widya Pasraman terdiri atas 3 (tiga) tingkat.
Pasal 39
(1) Untuk sanggup diterima sebagai penerima didik (Brahmacari) Adi Widya Pasraman, seseorang harus diberijazah Pratama Widya Pasraman atau yang sederajat.
(2) Untuk sanggup diterima sebagai penerima didik (Brahmacari) Madyama Widya Pasraman, seseorang harus diberijazah Adi Widya Pasraman atau yang sederajat.
(3) Untuk sanggup diterima sebagai penerima didik (Brahmacari) Utama Widya Pasraman, seseorang harus diberijazah Madyama Widya Pasraman atau yang sederajat.
(4) Pendidikan Adi Widya Pasraman terdiri atas 6 (enam) tingkat selama 6 (enam) tahun, pendidikan Madyama Widya Pasraman terdiri atas 3 (tiga) tingkat selama 3 (tiga) tahun, dan pendidikan Utama Widya Pasraman terdiri atas 3 (tiga) tingkat selama 3 (tiga) tahun.
11
(5) Peserta didik (Brahmacari) pada pendidikan Pasraman berkewajiban melaksanakan warna asrama dharma.
(6) Acarya atau pendidik membimbing, menuntun, dan membekali penerima didik (Brahmacari) dengan pengetahuan agama lainnya sesuai dengan kurikulum.
Pasal 40
(1) Maha Widya Pasraman atau pendidikan keagamaan tinggi Hindu, diselenggarakan oleh Pemerintah maupun masyarakat.
(2) Penamaan satuan jenjang Maha Widya Pasraman yang diselenggarakan oleh masyarakat ialah hak penyelenggara satuan pendidikan yang bersangkutan.
(3) Maha Widya Pasraman diselenggarakan sesuai dengan ketentuan ihwal pendidikan tinggi dalam Standar Nasional Pendidikan.
Pasal 41
(1) Pendidikan keagamaan Hindu nonformal dilaksanakan dalam bentuk Pesantian, sad dharma yaitu dharmatulla, dharma sadhana, dharma wacana, dharma yatra, dharma gita, dharma santi atau dalam bentuk lain yang sejenis.
(2) Pendidikan keagamaan Hindu nonformal ialah kegiatan pendidikan keagamaan Hindu secara berjenjang atau tidak berjenjang bertujuan untuk melengkapi pendidikan agama di sekolah formal dalam rangka meningkatkan sraddha dan bhakti penerima didik.
(3) Penyelenggaraan pendidikan keagamaan Hindu nonformal sebagai kegiatan pendidikan keagamaan Hindu berbasis masyarakat, diselenggarakan oleh forum sosial dan tradisional keagamaan Hindu, dilaksanakan di lingkungan tempat ibadah, balai adat, dan tempat lainnya yang memenuhi syarat.
(4) Pendidikan keagamaan Hindu nonformal didaftarkan keberadaannya kepada Menteri Agama.
Bagian Kelima
Pendidikan Keagamaan Buddha
Pasal 42
(1) Pendidikan keagamaan Buddha diselenggarakan oleh masyarakat pada jalur pendidikan nonformal dalam bentuk kegiatan Sekolah Minggu Buddha, Pabbajja Samguara, dan bentuk lain yang sejenis.
(2) Pengelolaan satuan pendidikan keagamaan Buddha dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat.
Pasal 43
(1) Pabbajja Samguara ialah pendidikan nonformal yang diselenggarakan oleh Sangha atau Majelis Keagamaan Buddha bertempat di Vihara/Cetiya yang diperuntukkan khusus bagi samguara, samguari, silacarini, buddhasiswa, dalam rangka peningkatan kualitas keimanan dan ketakwaan.
(2) Pabbajja Samguara bertujuan untuk menanamkan disiplin pertapaan sesuai dengan pedoman Sang Buddha dalam meningkatkan kualitas keimanan umat Buddha.
(3) Pabbajja Samguara dilaksanakan sekurang-kurangnya 2 (dua) minggu.
(4) Peserta didik Pabbajja Samguara mencakup anak-anak, remaja, dan dewasa.
(5) Kurikulum Pabbajja Samguara mencakup riwayat hidup Buddha Gotama, etika samguara, pokok-pokok dasar agama Buddha, paritta/mantra, meditasi, kedharmadutaan, dan materi penting terkait lainnya.
12
(6) Pendidik pada Pabbajja Samguara mencakup beberapa aspek para Bhikkhu/Bhiksu, Bhikkhuni/Bhiksuni, Pandita, Pendidik Agama, atau yang berkompetensi.
Pasal 44
(1) Sekolah Minggu Buddha ialah kegiatan berguru mengajar nonformal yang dilaksanakan di Vihara atau Cetya setiap hari Minggu secara rutin.
(2) Sekolah Minggu Buddha bertujuan untuk menanamkan saddha/sraddha dan bhakti penerima didik dalam rangka meningkatkan keimanan umat Buddha secara berkesinambungan.
(3) Sekolah Minggu Buddha diselenggarakan secara berjenjang atau tidak berjenjang.
(4) Sekolah Minggu Buddha ialah komplemen atau potongan dari pendidikan agama pada satuan pendidikan formal.
(5) Kurikulum Sekolah Minggu Buddha memuat materi kajian Paritta/Mantram, Dharmagita, Dhammapada, Meditasi, Jataka, Riwayat Hidup Buddha Gotama, dan Pokok-pokok Dasar Agama Buddha.
(6) Tenaga Pendidik pada Sekolah Minggu Buddhis mencakup beberapa aspek Bhikkhu/Bhiksu, Bhikkhuni/Bhiksuni, Samguara/Sramguara, Samguari/Sramguari, Pandita, Pendidik Agama, atau yang berkompetensi.
Bagian Keenam
Pendidikan Keagamaan Khonghucu
Pasal 45
(1) Pendidikan keagamaan Khonghucu diselenggarakan oleh masyarakat pada jalur pendidikan formal, nonformal, dan informal.
(2) Pendidikan keagamaan Khonghucu berbentuk kegiatan Sekolah Minggu, Diskusi Pendalaman Kitab Suci, Pendidikan Guru dan Rohaniwan Agama Khonghucu, atau bentuk lain yang sejenis.
(3) Pengelolaan satuan pendidikan keagamaan Khonghucu dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat.
Pasal 46
(1) Sekolah Minggu Khonghucu dan Diskusi Pendalaman Kitab Suci ialah kegiatan belajar-mengajar nonformal yang dilaksanakan di Xuetang, Litang, Miao dan Klenteng, yang dilaksanakan setiap ahad dan tanggal 1 serta 15 penanggalan lunar.
(2) Sekolah Minggu Khonghucu dan Diskusi Pendalaman Kitab Suci bertujuan untuk menanamkan keimanan dan akal pekerti penerima didik.
(3) Kurikulum Sekolah Minggu Khonghucu memuat materi kajian Daxue, Zhongyong, Lunyu, Mengzi, Yijing, Shujing, Liji, Shijing, Chun Qiu Jing, Xiaojing, Sejarah Suci Agama Khonghucu, serta Tata Agama/Peribadahan Khonghucu.
(4) Tenaga Pendidik pada pendidikan keagamaan Khonghucu mencakup beberapa aspek Jiaosheng, Wenshi, Xueshi, Zhanglao atau yang mempunyai kompetensi.
Pasal 47
Pendidikan Guru dan Rohaniwan Agama Khonghucu ialah pendidikan formal dan nonformal yang diselenggarakan di Shuyuan atau forum pendidikan lainnya dan oleh yayasan yang bergerak dalam pendidikan atau perkumpulan umat Khonghucu.
13
BAB IV
KETENTUAN LAIN
Pasal 48
Seluruh satuan pendidikan, program, dan kegiatan pendidikan keagamaan diselenggarakan dengan mengacu pada ketentuan yang diputuskan dalam Peraturan Pemerintah ini.
BAB V
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 49
Semua peraturan perundang-undangan yang ialah peraturan pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang pendidikan agama dan pendidikan keagamaan yang ada pada ketika diberlakukan Peraturan Pemerintah ini masih tetap berlaku sepanjang tidak berperihalan dengan Peraturan Pemerintah ini atau belum diganti dengan peraturan yang gres menurut Peraturan Pemerintah ini.
BAB VI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 50
Semua peraturan perundang-undangan yang dibutuhkan untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah ini harus diselesaikan paling lambat dua tahun terhitung semenjak tanggal berlakunya Peraturan Pemerintah ini.
Pasal 51
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang sanggup mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 5 Oktober 2007
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
DR.H.SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 5 Oktober 2007
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA
ttd.
ANDI MATTALATTA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2007 NOMOR 124
14
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 55 TAHUN 2007
TENTANG
PENDIDIKAN AGAMA DAN PENDIDIKAN KEAGAMAAN
I. UMUM
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 31 ayat (3) berbunyi: “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta moral mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang”. Atas dasar amanat UUD 1945 tersebut, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 ihwal Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 3 menyatakan bahwa pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi penerima didik biar menjadi insan yang diberiman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Mahan Esa, berakhlak mulia, sehat, diberilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi masyarakat negara yang demokratis serta bertanggung jawaban. Dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 ihwal Sistem Pendidikan Nasional ditegaskan bahwa taktik pertama dalam melaksanakan pembaruan sistem pendidikan nasional ialah “pelaksanaan pendidikan agama dan moral mulia”.
Selanjutnya, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 ihwal Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 37 ayat (1) mewajibkan Pendidikan Agama dimuat dalam kurikulum pendidikan dasar, menengah dan tinggi. Pendidikan agama pada jenis pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, vokasi, dan khusus disebut “Pendidikan Agama”. Penyebutan pendidikan agama ini dimaksudkan biar agama sanggup dibelajarkan secara lebih luas dari sekedar mata pelajaran /kuliah agama. Pendidikan Agama dengan demikian sekurang-kurangnya perlu berbentuk mata pelajaran/mata kuliah Pendidikan Agama untuk menghindari kemungkinan abolisi pendidikan agama di suatu satuan pendidikan dengan alasan sudah dibelajarkan secara terintegrasi. Ketentuan tersebut terutama pada penyelenggaraan pendidikan formal dan pendidikan kesetaraan.
Selain itu, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 ihwal Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 12 ayat (1) abjad a mengamanatkan bahwa setiap penerima didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapat pendidikan agama sesuai agama yang dianutnya dan diajar oleh pendidik yang seagama. Ketentuan ini setidaknya mempunyai 3 (tiga) tujuan, yaitu pertama, untuk menjaga keutuhan dan kemurnian pedoman agama; kedua, dengan adanya guru agama yang seagama dan memenuhi syarat kelayakan mengajar akan sanggup menjaga kerukunan hidup beragama bagi penerima didik yang tidak sama agama tapi berguru pada satuan pendidikan yang sama; ketiga, pendidikan agama yang diajarkan oleh pendidik yang seagama menandakan profesionalitas dalam penyelenggaraan proses pembelajaran pendidikan agama.
Pendidikan keagamaan pada umumnya diselenggarakan oleh masyarakat sebagai perwujudan pendidikan dari, oleh, dan untuk masyarakat. Jauh sebelum Indonesia merdeka, perguruan-perguruan keagamaan sudah lebih dulu berkembang. Selain menjadi akar budaya bangsa, agama disadari ialah potongan tak terpisahkan dalam pendidikan. Pendidikan keagamaan juga berkembang akhir mata pelajaran/kuliah pendidikan agama yang dinilai menghadapi aneka macam keterbatasan. Sebagian masyarakat mengatasinya dengan tambahan pendidikan agama di rumah, rumah ibadah, atau di perkumpulan-perkumpulan yang kemudian
15
berkembang menjadi satuan atau kegiatan pendidikan keagamaan formal, nonformal atau informal.
Secara historis, keberadaan pendidikan keagamaan berbasis masyarakat menjadi sangat penting dalam upaya pembangunan masyarakat belajar, terlebih lagi sebab bersumber dari aspirasi masyarakat yang sekaligus mencerminkan kebutuhan masyarakat bekerjsama akan jenis layanan pendidikan. Dalam kenyataan terdapat kesentidakboleh sumber daya yang besar antar satuan pendidikan keagamaan. Sebagai komponen Sistem Pendidikan Nasional, pendidikan keagamaan perlu didiberi peluang untuk berkembang, dibina dan ditingkatkan mutunya oleh tiruana komponen bangsa, termasuk Pemerintah dan pemerintah daerah.
Rancangan Peraturan Pemerintah ihwal Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan ialah kesepakatan bersama pihak-pihak yang mewakili umat Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Khonghucu. Masing-masing sudah memvalidasi rumusan norma aturan secara optimal sesuai karakteristik agama masing-masing.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Ayat (1)
Kurikulum pendidikan agama bagi penerima didik yang beragama tidak sama dengan kekhasan agama satuan pendidikan memakai kurikulum pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianut penerima didik.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Kerjasama ihwal penyelenggaraan pendidikan agama dengan penyelenggara pendidikan agama di masyarakat memperhatikan kurikulum tingkat satuan pendidikan.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Ayat (1)
16
Beberapa satuan pendidikan sanggup berhubungan menyediakan pendidik pendidikan agama.
Ayat (2)
Dalam hal penyediaan pendidik pendidikan agama tidak sanggup dilakukan oleh setiap atau beberapa satuan pendidikan, maka Pemerintah dan/atau pemerintah tempat sanggup menyediakan tempat penyelenggaraan pendidikan agama dengan menggabungkan para penerima didik seagama dari beberapa satuan pendidikan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 7
Ayat (1)
Pemerintah/pemerintah tempat wajib menyalurkan penerima didik, pendidik, dan tenaga kependidikan pada satuan pendidikan yang ditutup ke satuan pendidikan lain yang sejenis.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Keterampilan mencakup beberapa aspek pola-pola pendidikan yang dikembangkan pada jenis pendidikan kejuruan, vokasi, dan pendidikan kecakapan/keahlian lainnya.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Ayat (1)
Pemdiberian menolongan sumber daya pendidikan mencakup pendidik, tenaga kependidikan, dana, serta masukana dan pramasukana pendidikan lainnya.
Pemdiberian menolongan disalurkan secara adil kepada seluruh pendidikan keagamaan pada tiruana jalur, jenjang dan jenis pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat.
pertolongan dana pendidikan memakai satuan dan mata anggaran yang berlaku pada jenis pendidikan lain sesuai peraturan perundang-undangan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
17
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Ilmu-ilmu yang bersumber dari pedoman agama Islam mencakup ilmu agama Islam (dirasah Islamiyah), atau terpadu dengan ilmu-ilmu umum dan keterampilan.
Ilmu agama Islam (dirasah Islamiyah) sanggup memakai pembagian terstruktur mengenai tema: aqidah, tafsir, hadis, usul fikih, fikih, akhlak, tasawuf, dan tarikh Islam.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Ayat (1) dan Ayat (2)
Pendidik/satuan pendidikan sanggup menggabungkan aneka macam muatan pendidikan menjadi satu mata pelajaran atau lebih dalam kurikulum.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Ayat (1)
Pendidikan diniyah jenjang pendidikan tinggi antara lain Ma’had ‘Aly.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Ayat (1)
Penpenghasilanan kitab di dalam pesantren diselenggarakan untuk mengkaji kandungan Al Alquran dan As sunnah dan pemahaman transformatif atas kitab-kitab salaf (kitab kuning) dan kholaf (modern).
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
18
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Penamaan “diniyah takmiliyah” yang umum digunakan masyarakat ialah madrasah diniyah.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.
19
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 43
Cukup jelas.
Pasal 44
Cukup jelas.
Pasal 45
Cukup jelas.
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
Cukup jelas.
Pasal 48
Cukup jelas.
Pasal 49
Cukup jelas.
Pasal 50
Cukup jelas.
Pasal 51
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4769
0 Response to "Peraturan Pemerintah No 55 Tahun 2007 Ttg Agama"
Posting Komentar